UNHCR: Kewajiban Setiap Negara untuk Terima Pengungsi

Thomas Vargas, Kepala Perwakilan UNHCR
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Krisis kemanusiaan kembali berulang di kawasan Asia Tenggara, ketika ratusan orang terlihat terombang-ambing di tengah laut pada awal Mei lalu. Mereka berteriak meminta tolong dan mengaku sebagai warga Muslim Rohingya yang terpaksa kabur dari Myanmar, karena diperlakukan diskriminatif di negara asal. 

Myanmar Diminta Tak Diskriminatif Terhadap Rohingya

Nelayan lokal di Aceh, yang mendengar teriakan itu secara sukarela membantu dan membawa mereka ke daratan. Aksi tersebut, sempat dilarang oleh otoritas berwenang di Indonesia, karena dianggap memfasilitasi imigran ilegal.

Nasib pilu dialami warga Rohingya. Sebab, dua negara lainnya, yakni Malaysia dan Thailand, juga sempat menolak untuk menampung mereka. Pemerintah Negeri Jiran dan Thailand, beralasan tidak memiliki dana untuk menampung mereka.

Tokoh Rohingya Sanjung Keramahan Warga Aceh Utara

Melihat kondisi ini, dua menteri luar negeri dan satu wakil perdana menteri menggelar pertemuan darurat pada 20 Mei lalu di Kuala Lumpur. Hasilnya, Indonesia dan Malaysia, sepakat bersedia untuk menampung, masing-masing 7.000 warga Rohingya, sementara waktu hingga satu tahun mendatang.

Setelah itu, badan PBB untuk urusan pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) harus mencari solusi untuk proses resettlement (transmigrasi). 

Kemlu: RI Harus Bangga Bersedia Tampung Imigran

Kepada VIVA.co.id, yang menemuinya secara khusus di kawasan Kebon Sirih, Kepala Perwakilan UNHCR, Thomas Vargas, mengatakan bahwa saat ini, UNHCR masih dalam proses penilaian akan dibawa ke mana warga Rohingya tersebut.

Dari 1.800 orang asing yang ditampung di Indonesia, sebanyak 800 di antaranya merupakan migran ekonomi asal Bangladesh. Mereka akan dipulangkan ke negara asal.

Sementara itu, untuk kasus warga Rohingya, Vargas masih terus mencari opsi terbaik, termasuk mencari negara ketiga untuk penempatan.

"Jadi, kami mencoba untuk mencocokan situasi mereka dan solusi yang sesuai. Kami mencoba semua solusi. Tidak ada yang tak dipertimbangkan," papar Vargas. 

Dia mengatakan, untuk menangani pengungsi, situasinya tidak mudah dan kompleks. Belum lagi, para pengungsi yang kini ditampung di Aceh dan Sumatera Utara, juga terpisah dari keluarga mereka.

Menurut Vargas, bisa saja keluarga mereka berada di Malaysia. Sebab itu, proses reunifikasi juga dibutuhkan. 

Dalam kesempatan itu, Vargas turut menyinggung soal solusi regional yang seharusnya diambil oleh semua negara untuk mengatasi masalah irregular movement, termasuk pengungsi.

Dia berharapm negara-negara penandatangan Konvensi PBB tahun 1951 bisa menjadi contoh dan terdepan dalam menerima pengungsi. 

Lalu, bagaimana dengan pendapatnya terhadap kebijakan Pemerintah Australia yang secara tegas justru menolak menerima para pengungsi? Ke mana UNHCR akan menempatkan pengungsi Rohingya usai masa waktu satu tahun penampungan di Indonesia dan Malaysia berakhir? Simak perbincangan khusus VIVA.co.id dengan Thomas Vargas:

Bagaimana kelanjutan proses identifikasi terhadap migran asal Bangladesh dan pengungsi Rohingya di Aceh dan Medan?

Orang yang tiba dengan menggunakan perahu pada bulan Mei lalu, merupakan kelompok campuran berisi imigran Bangladesh dan pengungsi Rohingya. Untungnya, mereka diselamatkan oleh nelayan lokal dan terdampar di Indonesia. 

Kami menyambut baik, karena pengungsi diterima dengan baik oleh masyarakat dan otoritas setempat. Itu merupakan sikap awal yang ditunjukkan ketika terdapat situasi darurat. Sekarang, setelah beberapa bulan berlalu, kami mulai melalui dari situasi transisi ke situasi saat ini, di mana kebutuhan sehari-hari pengungsi terpenuhi, entah itu dari tempat penampungan sementara. 

Secara keseluruhan situasi darurat telah diatasi dan kini mereka selamat. Kini, menjadi tugas kami untuk memproses kasus mereka dan mencari solusi bagi mereka. 

UNHCR telah mendata semua pengungsi Rohingya dan kami kini tengah meneliti situasi mereka satu per satu. 

Jadi, UNHCR sudah mendata sekitar ribuan pengungsi Rohingya?

Dari data yang kami miliki ada sekitar 1.800 orang yang tiba di Aceh dan di antara mereka terdapat sekitar 800 warga Bangladesh. Sisanya, berasal dari Rohingya. Total, terdapat kurang dari 2.000 pengungsi yang tiba di Aceh dan Sumatera Utara.

Polisi Indonesia membagikan pakaian bekas pada migran Rohingya di Aceh.(Polisi Indonesia membagikan pakaian ke pengungsi Rohingya di Aceh. Foto: Antara)

Sementara itu, jumlah pengungsi yang tiba di Malaysia, mencapai sekitar 1.000 orang. Saat itu, ketika tiga negara mendiskusikan isu ini, masih terdapat kekhawatiran banyak pengungsi lainnya yang terombang ambing di tengah Laut Andaman dan Teluk Bengala. Bahkan, diprediksi jumlahnya saat itu mencapai 10 ribu. 

Bisa saja angka 7.000 pengungsi yang siap ditampung oleh Indonesia dan Malaysia itu bermula. Terkait dengan jumlah sebenarnya pengungsi yang kini berada di Aceh dan Sumatera Utara, angkanya mencapai kurang dari 2.000 orang. Bahkan, kini jumlahnya kian menyusut, karena sebagian warga Bangladesh dipulangkan ke negara asalnya.

Apakah ada kesepakatan yang diteken antara Pemerintah Indonesia dengan UNHCR, hingga kapan pengungsi Rohingya ditampung di Aceh?

Berdasarkan pernyataan bersama yang dirilis oleh Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Thailand mengindikasikan bahwa mereka bersedia membantu dan memberikan tempat penampungan sementara hingga satu tahun. Tetapi, kalimat sebenarnya yang saya ketahui, tiga negara itu memberikan kesempatan selama setahun bagi komunitas internasional untuk membantu pengungsi Rohingya dan mencari solusi.

Ketiga negara memang tidak menyebutkan secara spesifik tanggal hingga kapan mereka ditampung di Aceh. UNHCR terus bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Kami memang tidak memiliki kesepakatan, tetapi kami memberikan dukungan, karena telah mengizinkan para pengungsi tinggal sementara waktu di Indonesia. Secara khusus, selain dengan pemerintah, kami juga bekerja sama dengan mitra kami lainnya untuk mencoba mencari solusi bagi mereka.

Pada tahap mana, aktivitas yang dilakukan oleh UNHCR saat ini?

Saat ini, kami tengah memasuki fase penilaian. Kami mencatat semua pengungsi dan kami memberikan mereka dokumen. Mereka memiliki kartu yang membuktikan telah terdaftar di UNHCR dan kini kami tengah menilai kasus mereka, memeriksa secara individu, bagaimana kondisi mereka saat ini dan apa solusi yang paling memungkinkan. 

Jadi, kami mencoba untuk mencocokan situasi mereka dan solusi yang sesuai. Kami mencoba semua solusi. Tidak ada yang yang tidak dipertimbangkan.

Apakah menurut Anda, waktu satu tahun yang disepakati oleh Indonesia, Malaysia dan Thailand, dianggap cukup untuk menyelesaikan masalah pengungsi dan migran ini?

Sulit untuk menentukan timeline untuk kasus ini. Apa yang kami ketahui, pemerintah memberikan waktu sebanyak satu tahun bagi komunitas internasional dan UNHCR mencoba untuk bekerja sebaik mungkin. 

Kami juga berhati-hati untuk mencari solusi yang sesuai bagi semua pihak. Saya tak bisa mengatakan kepada Anda berapa lama proses ini akan berlangsung, bagi sebagian orang, waktu satu tahun mungkin dianggap terlalu cepat, karena kami memiliki situasi yang berbeda. 

Saya berikan Anda sebuah contoh. Sebagian besar orang yang menggunakan perahu, sebenarnya tidak bertujuan untuk ke Indonesia. Sebagian besar dari mereka ingin berangkat ke Malaysia. Sebab, di sana, sudah lebih dulu ada ayah, suami yang telah menanti mereka. Jadi, banyak dari mereka yang ingin pergi ke Malaysia.

Sementara itu, yang lainnya ada beberapa anak yang diculik di Bangladesh dan ditempatkan secara paksa oleh sindikat penyelundupan manusia. Di saat berlayar ke tempat tujuan, malah bersandar di Indonesia. Hal yang diinginkan anak-anak itu pasti bertemu kembali dengan keluarga di Bangladesh. 

Bagi anak-anak yang diculik dan ditempatkan di dalam perahu, mereka tentu ingin kembali berjumpa bersama keluarganya yang berasal dari Bangladesh dan berada di kamp pengungsian. Pemerintah Bangladesh telah memberikan persetujuan untuk menampung mereka sementara waktu. 

Kami tengah melakukan pengaturan, agar mereka bisa kembali ke Bangladesh bersama pemerintah dan mitra kami. Kasus migran Bangladesh merupakan kasus yang paling cepat dituntaskan, karena kami tahu asal usul keluarganya, kami tahu anak-anak itu ingin berkumpul lagi dengan keluarganya. Sementara, keinginan kami hanya ingin menyatukan kembali keluarga yang terpisah ini.

Ada anak-anak lain, yang yatim piatu akibat kasus ini. Mereka terpisah dengan orangtuanya ketika dalam perjalanan di dalam kapal. Jadi, kasus yang dialami anak-anak ini, jauh lebih sulit dibandingkan yang Anda pikirkan. Entah mereka kehilangan kedua orangtua, atau hanya kehilangan satu orangtua. 

Sebab itu, kami berupaya untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin dari anak-anak pengungsi. Kami juga berupaya mencari orangtua mereka yang masih hidup jika ada. Tetapi, jika orangtua mereka telah tiada, kami harus memikirkan solusi terbaik untuk pengungsi anak-anak. 

Kami memiliki kewajiban untuk mengurus pengungsi anak secara dekat. Sebab itu, berbagai solusi tengah dipikirkan bersama mitra kami.

Ada beberapa kasus pengungsi yang rentan, sehingga membutuhkan bantuan medis, ada juga yang karena berbagai alasan, tak bisa kembali ke rumah di negaranya. Maka, kami berupaya untuk melihat opsi yang ada, agar para pengungsi bisa tetap memperoleh perawatan medis. Bahkan, ada yang dikirim ke negara lain, karena perawatan medis yang dibutuhkan tak tersedia di sini.

Pada dasarnya, kami masih terus melakukan penilaian, sehingga bisa ditemukan solusi yang tepat. 

Apakah UNHCR telah menemukan negara ketiga yang bersedia menjadi lokasi penempatan bagi pengungsi Rohingya?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, kami tengah memikirkan berbagai solusi. Semua opsi tengah dipertimbangkan dan tidak ada yang dicoret. 

Sehingga, opsi penempatan kembali ini menjadi opsi yang sesuai bagi pengungsi yang rentan. Ada beberapa negara yang mengajukan diri, seperti Amerika Serikat contohnya. AS mengatakan tidak membentuk program baru, tetapi mereka mengizinkan untuk memberi tempat bagi pengungsi yang mengalami kasus yang rentan dengan menggunakan program yang sudah ada. 

Untuk menekankan kembali pertanyaan Anda, apakah jangka waktu satu tahun cukup, beberapa bulan lalu, Indonesia dikunjungi oleh Asisten Menteri Luar Negeri khusus pengungsi, Anne C. Richard. Dia menegaskan kembali bahwa Pemerintah AS, berkomitmen untuk melanjutkan program penempatan, tetapi dia mengatakan hal serupa kepada Pemerintah Indonesia bahwa paling tidak, kami membutuhkan waktu kurang lebih 18 bulan untuk memproses kasus ini. 


Asisten Menlu AS Anne Richard dan pengungsi Rohingya di Aceh

(Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat khusus untuk pengungsi, Anne C. Richard ketika mengunjungi tempat pengungsian warga Rohingya di Aceh. Foto: Reuters)

Jadi, kita sudah mengetahui bahwa waktu yang dibutuhkan memang lebih dari satu tahun. Tetapi, sebelum waktu 18 bulan itu ditentukan, UNHCR harus terlebih dahulu memastikan opsi penempatan kembali menjadi solusi terbaik bagi pengungsi. 

Jadi, memang dalam beberapa kasus, ada yang secara jelas diketahui prosesnya membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Alasannya sederhana, karena negara yang menjadi tujuan penempatan mengatakan butuh waktu lebih dari satu tahun. 



Apakah pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Gambia yang menawarkan diri sebagai tempat untuk menampung pengungsi?

Saya telah mendengar laporan itu dari berbagai media. Tetapi, sejak saat itu, saya belum pernah menerima indikasi resmi dari Pemerintah Gambia bahwa mereka bersedia menjadi negara untuk proses resettlement

Dari data yang dimiliki UNHCR, kami tak pernah memiliki catatan Gambia menjadi salah satu negara untuk proses resettlement di masa lampau. Kami juga memiliki tanggung jawab, jika kami ingin menempatkan seseorang ke satu negara, di sana para pengungsi bisa menyatu, memiliki sumber untuk menjalani kehidupan baru. 

Jadi, yang dibutuhkan tak hanya negara tersebut menawarkan diri untuk menampung, tetapi juga harus diteliti ada kemungkinan untuk menyatu dan beradaptasi dengan negara itu. Hal tersebut, merupakan proses yang kompleks. 

Namun, kami tetap mengucapkan terima kasih dan bersyukur atas tawaran dari negara lain (mengenai resettlement). Kami akan mencoba mencari tahu, bagaimana cara untuk memaksimalkan tawaran tersebut. Tetapi, yang kami inginkan hanya solusi terbaik bagi pengungsi.

Apakah Anda juga mendorong para pemimpin dari kawasan Asia Tenggara untuk mengatasi isu pengungsi ini, sehingga tak lagi terulang di masa mendatang?

Tentu saja, saya menyambut baik inisiatif yang pernah diambil oleh tiga negara. Saya dengar Pemerintah Malaysia, menyerukan untuk digelar pertemuan lain dengan fokus membahas isu tersebut. 

Menurut saya, ini kesempatan yang penting bagi ASEAN sebagai institusi untuk terlibat dan mencari solusi secara regional. UNHCR telah melakukan berbagai pendekatan secara regional. Kami memiliki satu kerangka kerja regional. 

Kami mencoba untuk mengumpulkan beberapa perwakilan negara duduk bersama dan mencari solusi yang harmonis untuk mengatasi masalah ini. Yang pasti, satu negara saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. 

Isu ini membutuhkan pendekatan regional. Ada berbagai lapisan faktor yang harus diatasi, sehingga tak mungkin hanya dilakukan oleh satu negara. 

Kami berharap, negara yang telah menandatangani Konvensi PBB mengenai pengungsi akan menjadi pemimpin dan mencari solusi. Kami menekankan bahwa melindungi orang yang terombang ambing di lautan dalam kondisi darurat, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah membawa mereka ke daratan. 

Kemudian, memastikan bahwa mereka selamat. Setelah itu, kita bisa mencari berbagai solusi dan melihat dari berbagai kebutuhan mereka. Beberapa dari migran mungkin ada yang ingin kembali ke negara asal, tetapi ada pula migran yang bermotif ekonomi seperti warga Bangladesh. Sementara, migran lainnya tak memungkinkan untuk kembali ke negara asal. Sebab itu, mereka harus melarikan diri dengan menyelamatkan nyawa.  

Tetapi, yang terpenting adalah kita tidak bisa membiarkan mereka terapung-apung di lautan. Apalagi, mereka tidak memiliki makanan, atau pasokan logistik dan nyaris mati. Kewajiban bagi negara adalah menyelamatkan mereka. Sementara itu, kami bertugas untuk membantu pemerintah yang menyelamatkan migran agar dibawa ke daratan. Dari sana, kami bisa memikirkan solusi yang tepat. 

Bagaimana cara UNHCR melakukan pendekatan kepada negara yang secara jelas menolak untuk menampung sementara para pengungsi? Padahal, negara itu menjadi salah satu anggota penandatangan Konvensi PBB mengenai pengungsi?

Mungkin yang Anda maksud salah satunya Australia. Tentu, kami menghargai kompleksitas situasi yang ada. Tetapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, isu ini tak hanya bisa diselesaikan oleh satu negara saja. 

Posisi UNHCR adalah, jika ada satu negara yang mencegat perahu, negara itu bertanggung jawab memastikan keselamatan penumpang di dalam perahu tersebut. Kebijakan yang dimiliki Pemerintah Australia saat ini, yaitu dengan mencegat kapal lalu mendorong kembali ke perairan asal, atau mengirim mereka ke detensi di Pulau Manus, ke Nauru, atau ke Indonesia, bagi kami itu bukan pendekatan yang benar. 

Kami ingin melihat semua negara, ketika mencegat perahu, maka pemerintahnya mengizinkan kapal untuk berlabuh di pelabuhan terdekat. Negara itu juga wajib memastikan penumpang di dalamnya selamat. 

Sementara itu, dalam konteks usai krisis terbaru, di mana para sindikat penyelundup manusia meninggalkan manusia perahu di tengah laut hingga kelaparan. Kami tidak ingin melihat perahu itu didorong kembali ke tengah lautan. 

Sebab itu, kami berharap pemerintah bisa bertanggung jawab terhadap keselamatan para penumpang di kapal itu dan ikut mengawasi terhadap situasi yang tengah mereka alami.

Seperti yang saya katakan tadi, banyak dari migran ini yang bisa kembali ke negara asal. Sementara, kami siap untuk bermitra dengan siapa pun.

Bagi mereka yang tak bisa kembali pulang ke negara asal, maka kami akan mencarikan solusi lainnya. Tetapi, hal yang tak ingin kami lihat, yaitu negara membiarkan orang-orang ini terlunta-lunta dan kelaparan hingga mati di tengah laut. Itu bukan tradisi kemanusiaan. Jelas, kejadian itu juga tak sesuai dengan hukum internasional. 

Apakah menurut Anda dengan kebijakan yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah Australia, hal tersebut bisa efektif menghentikan para migran ke Negeri Kanguru atau Selandia Baru?

Seperti yang saya katakan tadi, isu ini tak akan bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Kebijakan semacam ini, mungkin bisa saja menurunkan jumlah kapal yang datang ke Australia, karena otoritas berwenang selalu mencegat setiap kapal yang berniat masuk, tetapi selama masih ada situasi yang memaksa mereka untuk meninggalkan negara asal, maka perahu itu tidak akan berhenti. 

Australia pindahkan pencari suaka ke wilayah Indonesia, November 2009.(Otoritas Australia mendorong kembali perahu pencari suaka ke perairan Indonesia. Foto: Reuters)

Terlebih jika Anda cukup putus asa, untuk menyelamatkan hidup Anda sendiri, apalagi keluarga di negara yang Anda huni, terlepas dari kekejaman yang akan Anda lalui ketika berada di atas kapal, maka orang-orang ini tetap harus berbuat sesuatu untuk membuat kehidupan yang lebih baik.  

Mereka bersedia untuk naik kapal dan melintasi samudera, mereka tahu betul apa risikonya, karena hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa. Satu-satunya cara adalah dengan melalui keadaan yang berbahaya. Tetapi, mereka dalam keadaan putus asa. 

Jadi, kebijakan untuk menolak pencari suaka, bukan berarti menghentikan kapal-kapal itu. Sebab, yang menjadi faktor pendorong dari negara asal seperti kekerasan masif, perang sipil tidak berhenti. Kecuali isu itu teratasi, maka aliran kapal akan terus terjadi. 

Inilah yang menggambarkan betapa rumitnya situasi pengungsi. Ada begitu banyak aspek yang harus dihadapi. Anda harus menghadapi akar permasalahannya, Anda harus memiliki strategi terhadap negara transit yang terlibat dan negara tujuan. Sehingga, semua pihak harus terlibat untuk mencari solusi bersama. 

Nyawa migran terselamatkan dan kita tidak membahayakan nyawa orang lain. Semua orang bisa hidup dengan damai. Pada dasarnya itulah yang dicari oleh semua orang. 

Apakah menurut Anda, Indonesia pada akhirnya dapat menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka dan pengungsi?

Saat ini, Indonesia memang telah menampung sekitar 13 ribu pencari suaka dan pengungsi. Tetapi, hingga saat ini, Indonesia masih dipandang sebagai negara transit. Dari hasil pembicaraan dengan beberapa pengungsi, mereka masih berniat untuk pergi ke negara lain. 

Alasan mereka ingin ke negara tersebut, karena keluarga sudah lebih dulu ada di sana. Begitu pula masyarakatnya juga sudah terbentuk atau mereka telah dijanjikan kesempatan bekerja di sana. 

Jika Anda melihat situasi di Indonesia, jumlah pengungsi yang ditampung masih bisa dikendalikan. Bandingkan dengan populasi dari pengungsi di negara lain.  

Tengok Malaysia, mereka telah menampung sekitar 100 ribu pengungsi. Angka serupa juga ditampung di Thailand. Sementara, Bangladesh telah menampung 200 ribu pengungsi. Sehingga, angka itu jauh lebih besar dibandingkan pengungsi yang ditampung di Indonesia. Jadi, sulit untuk mengatakan Indonesia akan menjadi negara tujuan di masa depan. 

Tetapi, yang saya lihat, akan ada pergerakan manusia secara iregular di kawasan hingga situasi di negara asal aman, memberikan kesempatan ekonomi dan hak asasi manusia dan kondisi yang diharapkan bisa tercapai. Sehingga, betapa pentingnya solusi regional perlu dicapai. 

Sebab itu, saya begitu bahagia negara seperti Indonesia mempromosikan sebuah cara untuk bisa bekerja sama dengan negara lain demi mengatasi permasalahan ini. 

Tetapi, bukan kah banyak juga yang menyeberang ke Australia dan Selandia Baru, merupakan migran bermotif ekonomi?

Ketika Anda melihat jumlah migran ekonomi jika dibandingkan pengungsi, memang saya akui jumlahnya lebih besar, terlebih yang terus bergerak secara iregular. Tetapi, itu sebabnya menjadi penting untuk memiliki mekanisme, siapa pengungsi dan siapa yang benar-benar membutuhkan bantuan internasional. 

Sebab, ada perbedaan yang besar antara migran ekonomi dengan pengungsi. Migran ekonomi bergerak ke negara lain sesuai keinginan mereka sendiri. Mereka tidak dalam kondisi, di mana terpaksa harus kabur dan meninggalkan negara asal. 

Sementara, pengungsi berbeda. Mereka tak memiliki pilihan untuk pindah dari negara asal demi keselamaran diri mereka sendiri. Tetapi, menjadi sesuatu yang manusiawi bagi kita untuk mencari perlindungan ketika berada dalam bahaya. 

Sesungguhnya, Indonesia mengikuti tradisi yang sudah lama diajarkan di dalam Islam, bahwa pencari suaka sudah menyatu dalam Islam. Bahkan, Nabi Muhammad juga merupakan pengungsi. Ini merupakan sesuatu yang dipahami oleh warga Indonesia. Sebab itu, saya bahagia jika tradisi tersebut terus dilakukan. 

Apa yang harus dilakukan masyarakat internasional agar membangkitkan pengetahuan mengenai isu ini dan diatasi bersama?

Saya pikir krisis di Teluk Bengal dan Laut Andaman, memberikan kesempatan untuk bisa melihat apa yang terjadi terkait kekejaman kejahatan penyelundupan dan perdagangan. Kita perlu menggunakan momentum ini menjadi sebuah kesempatan dan menghasilkan sebuah solusi yang bermanfaat, sehingga tidak ada lagi orang yang berada di situasi tersebut. 

Ketika kita bisa membantu orang dalam keadaan darurat di tengah laut, maka di saat yang bersamaan kami akan mendukung negara yang tengah mengalami konflik, sehingga bisa terdapat perbaikan dan memberikan peluang ekonomi yang lebih baik. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya