Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti

Kita Siap Hadapi Ebola

Wakil Menteri Kesehatan
Sumber :
  • VIVAnews/Ahmad Rizaluddin

VIVAnews - Virus Ebola hingga saat ini masih menjadi "hantu" yang menakutkan, tak hanya di Afrika Barat, namun juga di belahan dunia yang lain. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, hampir 4.500 orang meninggal akibat virus Ebola yang mewabah sejak awal tahun.

Jeep Rubicon Mario Dandy Dilelang dengan Harga Limit Rp809 Juta, Intip Spesifikasinya

Sementara itu, jumlah kasus yang terdaftar di tujuh negara menyebutkan 8.997 orang terjangkit virus mematikan tersebut. Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyebut, wabah Ebola sebagai "ancaman bagi keamanan global". Ia mengatakan, untuk penanganan wabah tersebut diperlukan "respons global".

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kementerian Kesehatan menyatakan telah melakukan sejumlah persiapan terkait ancaman penyebaran Ebola. Tak hanya rumah sakit rujukan, Kemenkes juga sudah menyiapkan laboratorium khusus guna menangani virus yang menyebar secara liar ini. Pemerintah juga menangani secara khusus dan serius jemaah haji agar terhindar dari virus ini.

Pesan Vicky Prasetyo Jika Meninggal Dunia, Minta Hal Ini ke Keluarga

Mustakim, Erick Tanjung, dan fotografer Ahmad Rizaluddin dari VIVAnews mewawancarai Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti pada Senin, 13 Oktober 2014. Demikian petikan wawancara yang dilakukan di kantor Kemenkes di bilangan Kuningan, Jakarta.

Apa langkah Kemenkes agar Ebola tak masuk Indonesia melalui jemaah haji?
Pertama, jemaah haji sebelum berangkat sudah kami kasih tahu bagaimana menjaga pola hidup yang sehat selama di sana. Setelah di sana, petugas kesehatan tidak boleh ikut haji, tapi khusus melayani jemaah haji untuk antisipasi.

Intip Peluang Timnas Indonesia Lolos ke Perempat Final Piala Asia U-23

Selain itu?
Di bandara dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) kita pasang termoscaner. Di sana juga ada tim kesehatan yang siap kalau terjadi sesuatu. Tak hanya itu, dua minggu setelah mereka pulang dari Tanah Suci, kita masih pantau kesehatan mereka. Bahkan, kita biayai kalau mereka terkena penyakit usai pulang haji. Kita sampaikan kepada jemaah haji, kalau ada gejala-gejala yang mirip Ebola agar datang ke fasilitas-fasilitas kesehatan yang sudah kita tunjuk.

Apakah jemaah haji Indonesia ada yang berpotensi terjangkit?
Namanya potensi pasti ada. Sebab, bagaimana pun di dunia modern kontak antarmanusia kan ada. Tapi, sejauh ini belum ada jemaah haji kita yang terkena.

Bagaimana kesiapan dari sisi SDM dan infrastruktur?
Kita tetapkan dua rumah sakit rujukan nasional untuk infeksi, termasuk Ebola tentunya. Di Jakarta adalah RS Sulianti Saroso dan RS Pusat Tropis dan Penyakit Infeksi di Surabaya. Kita juga sudah melakukan simulasi seandainya sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Apa sudah ada kasus Ebola di Indonesia?
Belum lama ini seorang warga negara Afrika yang dirawat di RS swasta di Jakarta terkena gejala mirip Ebola. Saya sempat khawatir kalau positif, karena kalau positif yang merawat pasti kena. Sebab, mereka nggak pakai standar protokol seperti Ebola. Namun ternyata dia cuma kena malaria.

Apa sudah ada WNI yang terinfeksi?
Belum. Tapi, kita sudah ada antisipasi baik dari sisi penanganan maupun infrastruktur kesehatan. Kita juga sudah siapkan laboratorium yang bisa mendeteksi seseorang menderita Ebola atau tidak.

Di mana laboratoriumnya?
Ada di tempat-tempat tertentu, karena harga laboratoriumnya terlalu mahal. Nanti bisa dikirim kalau ada yang terjangkit.

Selain medis, apa saja yang sudah disiapkan Kemenkes guna mengantisipasi Ebola?
Meningkatkan kewaspadaan, kesadaran, dan pengetahuan bagi masyarakat melalui petugas-petugas kesehatan. Jadi, kita sudah bikin surat agar mereka meningkatkan kewaspadaan.

Apakah ada kerja sama dengan pihak lain?
Kita bekerja sama dengan Kementerian Agama. Kita bikin semacam sistem informasi terpadu untuk bisa mendeteksi pola penyakit yang dialami jemaah haji. Selain itu, tentu dengan Kementerian Hukum dan HAM. Saya sudah minta semacam perlakuan khusus atau form yg dikembangkan bagi pengaju visa dari negara-negara Afrika, khususnya Afrika Barat.

Wakil Menteri Kesehatan

Maksudnya?
Pengetatan bagi warga negara Afrika yang akan datang ke Indonesia. Ada tambahan form, pertanyaan, kalau dia mengajukan visa. Apakah di antara saudara mereka pernah ada yang menderita Ebola. Atau apakah mereka pernah tinggal di daerah endemis dan sejumlah pertanyaan lain. Cuma saya perlu pastikan, ini sudah jalan atau belum.

Apakah ada screening khusus bagi orang Afrika Barat yang berkunjung ke Indonesia?
Kita belum sampai ke situ. Tapi, yang jelas di setiap airport yang besar dan KKP ada termoscanner dan ruang isolasi. Kita beruntung tidak ada penerbangan langsung dari Afrika Barat ke Indonesia. Jadi, kalau mau ke Indonesia mereka sudah melalui pemeriksaan di negara lain.

Apakah Indonesia menerbitkan larangan bepergian ke Afrika Barat?
Kita tidak melarang atau mengeluarkan travel warning. Tapi, kita imbau atau semacam travel advice kalau tidak penting dan darurat agar tidak pergi ke negara tersebut. Kalau pun ke sana, ada beberapa hal yang kita sampaikan. Pertama jangan sampai kontak dengan penderita, jangan menghadiri pemakaman orang yang meninggal karena Ebola. Dan jangan pergi ke hutan yang ada kaitannya dengan kera dan simpanse.

Selama Anda menjadi Wamenkes, apa saja capaiannya?
Capaian tentu banyak. Misalnya, Indonesia telah mendapatkan penghargaan dari Amerika, karena berhasil dalam pengendalian tuberculosis dan juga malaria serta berbagai penghargaan lain. Sebelum kami masuk, istilahnya dari segi keuangan disclaimer. Sekarang kita sudah WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Tapi, banyak hal juga yang mesti kita perbaiki dan PR untuk pemerintah ke depan.

Dari sisi kesehatan?
Sistem jaminan kesehatan melalui JKN, kebetulan saya sendiri Ketua Pokja persiapan implementasi BPJS. Meskipun banyak kritik, tapi telah terimplementasi. Kita dijadikan contoh dan diakui banyak negara. Memang banyak keluhan. Tapi, dibanding yang mengeluh dan yang tidak mengeluh tentu banyak yang tidak mengeluh. Artinya banyak yang terlayani.

Bagaimana dengan layanan kesehatan di RS, puskesmas?
Sebelum kita masuk, belum ada satu pun RS di Indonesia yang terakreditasi internasional. Sekarang sudah ada sekitar 18 RS.

Apa yang belum tercapai?
Pertama, bagaimana JKN yang sudah ada bisa lebih maksimal lagi. Kemudian, peran daerah lebih bagus, koordinasi antarlembaga dan pemangku kepentingan juga lebih bagus lagi. Kedua, bagaimana konektivitas, sinkronisasi, koordinasi antarberbagai sektor dan antara pemerintah pusat dan implementator di lapangan, terutama di kabupaten/kota serta provinsi.

Selain itu?
Kita sedang menuju ke kedaulatan farmasi. Namun, 90 persen bahan baku masih impor. Padahal, kita punya potensi 28.000 tumbuhan yang bisa dijadikan bahan baku obat. Kita masih sangat tergantung bahan baku dari luar negeri, sehingga sangat labil. Kalau harga dolar naik, harga obat bisa melonjak. Yang lain soal birokrasi dan administrasi. Meski sudah mengantongi banyak penghargaan, menurut saya kinerja di Kemenkes masih kurang cepat dalam memberikan layanan.

Saat menjadi wamen, apa kendala yang dihadapi?
Kendalanya ya budaya pegawai negeri lah. Tapi, kalau saya uraikan bisa panjang.

Harapan Anda kepada pemerintah ke depan?
Komitmen dari pemerintah sebelumnya sudah cukup bagus. Tapi, jauh lebih bagus kalau komitmen itu ditingkatkan lagi. Karena, kalau mau berdaya saing global dan mau menang, ya SDM. Kalau bicara SDM, intinya menurut saya hanya dua, yaitu pendidikan dan kesehatan.

Menurut Anda, kriteria seperti apa yang layak jadi menkes di kabinet Jokowi?
Menurut saya dia harus memiliki wawasan sangat luas, dikenal di internasional jika perlu punya jabatan di dunia internasional. Selain itu, dia harus tahu persis perihal birokrasi dan bagaimana implementasi di lapangan serta menjadi problem solver. Jadi, tidak cukup hanya pintar dan punya pengetahuan, namun leadership-nya juga harus kuat. Selain itu, dia diakui di lingkungan kesehatan.

Harus dokter?
Kalau menurut saya iya. Bukan karena saya dokter. Namun, jika menkes bukan dari kalangan dokter, dia akan repot saat akan berkomunikasi dengan publik. Umpamanya dia bukan dokter, Anda tanya soal Ebola dan gejalanya. Dia pasti akan repot. Memang dia bisa belajar, tapi itu butuh waktu. Saya nggak bisa bayangkan nanti menterinya kalau bukan dokter, menjelaskan persoalan penyakit. Idealnya harus dokter.

Apa tantangan menkes ke depan?
Tantangannya yang jelas konstelasi politik saat ini. Kedua, banyak orang Indonesia belum paham tentang kesehatan dan kesakitan. Kemenkes sering dipersepsikan sebagai kementerian kesakitan. Dan, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Juga soal koordinasi antarlembaga dan kementerian. Sebab Kemenkes tidak mungkin menyelesaikan masalah kesehatan sendiri.

Menurut Anda, siapa kira-kira sosok yang cocok menjadi menkes?
Saya tidak tahu itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya