Wawancara Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng

"Kami Jaga Kuota BBM Tak Jebol"

Kementrian ESDM Gelar Jumpa Pers Terkait Pencabutan Subsidi Solar.
Sumber :
  • VIVAnews/Ahmad Rizaluddin

VIVAnews - Solar bersubsidi tak lagi dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) wilayah Jakarta Pusat. Ketentuan itu berlaku mulai 1 Agustus 2014, hingga akhir tahun ini.

Tak hanya di Jakarta Pusat, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga mengeluarkan kebijakan pengendalian penjualan solar bersubsidi di daerah lain. Pembelian solar bersubsidi di beberapa daerah dibatasi mulai Senin 4 Agustus 2014.

Kebijakan ini diambil setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengunci kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter pada 2014. Kuota ini turun dari yang sebelumnya 48 juta kiloliter. Pemerintah dan DPR sepakat kuota tersebut tak boleh jebol hingga akhir tahun ini. Kalau lebih dari kuota, tak ada pembayaran subsidi BBM.

Ketentuan baru ini mencantumkan pembatasan penjualan solar bersubsidi di beberapa wilayah tertentu. Aturan ini ditujukan kepada badan usaha pelaksana penyedia dan pendistribusian bahan bakar minyak (bersubsidi), seperti PT Pertamina, untuk tidak menjual solar bersubsidi di SPBU pada waktu tertentu.

Pembatasan penjualan solar bersubsidi juga akan dilakukan di wilayah rawan penyalahgunaan BBM bersubsidi seperti di daerah industri, perkebunan, dan pertambangan. Waktu pembelian dibatasi, yaitu mulai pukul 08.00 hingga 18.00 WIB.

Surat edaran soal ketentuan ini telah disampaikan kepada badan usaha dan instansi terkait dan telah melalui pembahasan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Pertamina.

Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.

Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.

Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.

Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, hanya Pertamax series. Saat ini, total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa Barat) dan 2 unit SPBU di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini, VIVAnews mewawancarai Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, belum lama ini. Berikut petikannya:

BPH Migas telah mengeluarkan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi jenis solar dan premium. Apa yang melandasi kebijakan itu?

Dasarnya UU APBNP 2014, kuota BBM bersubsidi ditetapkan menjadi 46 juta kiloliter dari sebelumnya 48 juta kiloliter. Ada pengurangan 2 juta kiloliter. Nah, 46 juta kiloliter itu harus sampai akhir Desember 2014. Kita harus menjaga itu. Tidak boleh over. Kalau over, ya, tidak dibayar oleh negara karena keterbatasan anggaran.

Untuk solar bersubsidi sudah tidak boleh dijual di Jakarta Pusat, sedangkan daerah lain dibatasi waktu penjualannya. Mengapa Jakarta dulu yang dipilih?

Kami ingin melakukan penghematan. Jakarta Pusat mungkin bukan wilayah orang yang mengisi solar. Tapi, itu kan daerah yang selalu dilewati. Tidak ada pool atau terminal transportasi publik. Yang ada malah di daerah pinggiran. Adanya di Jakarta Barat, seperti Kalideres, dan Pulogadung di Jakarta Timur, serta Kampung Rambutan. Di Jakarta Selatan di Lebak Bulus.

Berapa sebenarnya rata-rata konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta per tahun dan bagaimana perbandingannya dengan daerah lain di Indonesia?

Di Jakarta itu 3 juta kiloliter per tahun. Jakarta itu peringkat ke-4. Peringkat pertama Jawa Barat konsumsinya 7-8 juta kiloliter, peringkat kedua Jawa Timur 7-7,9 juta kiloliter, Jawa Tengah di peringkat ketiga dengan 6-7 juta kiloliter, dan peringkat kelima Sumatera Utara 2-2,5 juta kiloliter.

Jawa Barat dan Jawa Timur tergolong sangat tinggi konsumsinya? Faktor apa yang memengaruhi?

Karena penduduknya banyak. Kemudian, jumlah kendaraan.

Selama ini, daerah-daerah mana saja yang ditengarai rawan penyelewengan BBM bersubsidi?

Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali itu ditengarai, karena dekat industri dan tambang. Yang paling rawan, ya Kalimantan Selatan dan Sumatera. Kalau di Jawa itu Banten, Merak.

Berapa volume penyalahgunaan BBM bersubsidi di daerah-daerah itu? Apa indikasinya?

Susah ketahuan. Itu, kan pengalaman BPH Migas dan kepolisian. Kepolisian banyak nangkepin di situ. Di Kalimantan Barat juga, polisinya banyak tangkap.

Pembatasan BBM bersubsidi, seperti solar, nantinya tidak hanya berlaku di Jawa, tapi juga di Kalimantan, Sumatera, dan Bali. Bagaimana mekanisme pengaturannya?

Pengaturan itu hanya sampai akhir 2014. Misalnya, yang buka jam 08.00-16.00 itu hanya Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Itu pun dipilih daerah cluster yang terjadi penyalahgunaan (solar bersubsidi). Seperti di Batam, pilot project-nya sudah jalan.

[Di Batam, ada pengendalian BBM bersubsidi dengan kartu pengendalian. Aturan ini berlaku mulai 1 Februari 2014. Aturan tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Kota Batam atas dorongan BPH Migas dan Kementerian ESDM untuk membatasi jumlah pembelian solar bersubsidi untuk angkutan umum roda empat sebanyak 30 liter, angkutan umum roda enam 50 liter per hari, dan mobil pribadi 20 liter per hari. Dalam kartu ini, tercatat nomor polisi kendaraan sehingga pemilik tak bisa membeli solar bersubsidi di atas jatah yang telah ditetapkan.]

Pengendalian BBM bersubsidi menggunakan sistem kartu sudah "berhasil" di Batam. Apakah sistem ini juga akan diterapkan di daerah lain?

Ya, terserah pemerintah daerahnya. Di Sulawesi Selatan, ada inisiatif pemerintah daerah yang bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Pertamina. Pegawai di lingkungan pemerintah daerah di sana pakai kartu untuk membeli BBM nonsubsidi. Kalau dikasih uang, nantinya lari ke premium. Bagus, kan, kalau begitu.

Sistem pengendalian itu apakah bisa jadi model?

Iya, itu model. Kami kembangkan itu. Harusnya pemerintah daerah bisa terkait kewenangan yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri. Ada direction, langsung dari Kementerian Dalam Negeri. Tapi, ini, kan inisiatif dan inovasi dari pemerintah daerah. Yang paling maju, ya, di Sulawesi Selatan.

Artinya, pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi itu nantinya tergantung kepada pemerintah daerah?

Ya. Itu artinya Pertamina akan berkoordinasi dengan para SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Tinggal Pertamina sudah tindak lanjuti belum? Pertamina akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. BPH Migas juga ikut, karena yang mengawasi. Tapi, yang di lapangan itu Pertamina.

Bagaimana proses sosialisasi di daerah?

Itu selalu kami lakukan. Ada memorandum, penandatanganan kerja sama. Seperti, belum lama ini, kami sudah tanda tangan kerja sama dengan Bangka Belitung. Bupatinya senang sekali. "Pak Andy, saya mau nih, kabupaten saya jadi percontohan," kata dia. Kalau ada pemimpin yang kayak gitu, senang tuh. Mau berbuat untuk kebaikan negara. Daerah lain yang juga sudah teken seperti Batam dan Kalimantan Selatan. Kalimantan, sudah semua provinsi, termasuk sampai Kalimantan Utara. Sulawesi Tengah sebentar lagi.

Bisa Anda jelaskan teknis pengaturan pengendalian BBM bersubsidi jenis solar itu?

Teknisnya, ya, begitu saja. SPBU buka jam 08.00 tutup jam 18.00 untuk melayani solar bersubsidi. Setelah jam itu, SPBU melayani solar nonsubsidi. Untuk Jakarta Pusat, kami akan mencoba sampai akhir tahun. Itu pun banyak yang protes, terutama Organda (Organisasi Angkutan Darat). Karena mereka belum baca dengan benar aturannya. Kalau nanti mereka ingin minta penjelasan, ya, akan kami jelaskan. Yang penting, bisa dilayani di SPBU lain. Kecuali kalau tidak dilayani.

Jasad Nenek dan Cucu Korban Longsor di Bandung Barat Ditemukan Saling Berpelukan

PEMBATASAN PENJUALAN SOLAR BERSUBSIDI

Solar bagi nelayan ditekan 20 persen dan diprioritaskan untuk nelayan berkapal di bawah 30 gross tonage/GT. Bagaimana untuk kapal-kapal besar?

Jadi, begini. Kadang-kadang banyak pengaduan dari nelayan kecil bahwa mereka kehabisan BBM saat mengisi di SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan). Ternyata, didahului kapal-kapal besar. Mereka hanya bisa melongo. Akhirnya datang ke SPBU. Bawa pakai jeriken, ditangkap polisi, kan kasihan. Jadi, di SPBU nelayan harus mengutamakan nelayan-nelayan kapal kecil dulu biar kebagian semua. Tiap hari pasti ada nelayan yang datang. Kapal besar belakangan antreannya. Itu, kan, bisa diatur.

Regulasi BPH Migas terkait pengendalian BBM bersubsidi ada yang berlaku tanggal 1, 4, dan 6 Agustus. Surat edarannya diteken tanggal 24 Juli. Artinya, berlaku seminggu setelah surat diteken. Apa tidak mepet?

Tidak ada yang mepet. Kami dapat instruksinya pada pertengahan Juli, seminggu sebelum surat saya tanda tangani. Kan, harus lewat mekanisme rapat dulu, ada komite. Sebelumnya harus koordinasi dulu dengan menteri-menteri dan wamenkeu serta wamen ESDM. Yang jelas, pemerintah tidak akan keluarkan kebijakan, kemudian diserahkan kepada BPH Migas. Kan, bola panas ada di BPH Migas. Ya, sudah, kami siap melaksanakan sesuai tugas.

Bagaimana proses sosialisasinya?

Bagaimana bisa sosialisasi? Makanya, libur Lebaran saya tidak pulang kampung. Nongol di televisi, diwawancarai tengah malam. Ini juga bagian sosialisasi.

Terkait pembatasan BBM subsidi itu, bagaimana kesiapan Pertamina dalam pasokan BBM nonsubsidi? Termasuk tidak dijualnya premium di rest area jalan tol mulai 6 Agustus?

Pertamina Siap. Yang kemasan saja ada. Tapi, harganya lebih mahal. Daerah remote kan bisa pakai itu. Misalnya, premium ada cadangan 18-20 hari, solar bisa sampai 23 hari, avtur 30 hari, pertamax plus 90 hari atau tiga bulan, pertamax bisa 40 hari, minyak tanah 66 hari. Kurang siap apa lagi? Kalau bilang tidak dilayani, tidak mungkin tidak dilayani. Dengan pengelola SPBU juga sudah siap. Kami sudah koordinasi dengan Hiswana Migas.

Berdasarkan pemantauan, apakah kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini cukup efektif?


Pembatasan pembelian berdasarkan waktu itu efektif untuk mengurangi penyalahgunaan. Misalnya, di Batam. Berhasil mengurangi penyalahgunaan. Ya, tidak seratus persen. Malam-malam nggak ada yang mau beli. Itu, kan rawan penyelewengan. Kalau siang, orang mau beli bolak-balik, kan, ketahuan. Yang beli malam, biasanya ada orang yang tukang timbun.

Tapi, namanya disparitas harga masih tinggi. Makanya kalau bisa disparitas harga dikecilkan dan didekatkan dengan harga keekonomiannya. Harga BBM bersubsidi sebaiknya tak jauh beda dengan pertamax. Dan juga subsidi hanya diberikan kepada sektor tertentu.

Artinya, ini bisa mendorong kenaikan harga BBM bersubsidi?

Oh, iya, harusnya. Di mana pun di dunia, negara yang konsumsinya lebih besar daripada produksi itu tak disubsidi.

Pengendalian BBM bersubsidi ini apakah akan berlanjut tahun berikutnya?

Ya, tergantung pemerintah baru. Kan, ini berlaku untuk menjaga kuota 46 juta kiloliter sampai akhir tahun.

AHY: Enggak Masalah Kursi Demokrat di DPR Turun, yang Penting Prabowo Menang
Nyamuk bionik Wolbachia

Nyamuk Wolbachia Melawan DBD! Menkes Ungkap 5 Wilayah di Jawa yang Sudah Terbebas

 Implementasi teknologi nyamuk wolbachia  merupakan salah satu cara untuk menghambat perkembangan virus dengue penyebab kasus demam berdarah atau DBD.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024