Andi Mallarangeng

Thailand: Ada Apa Denganmu?

Andi Mallarangeng
Sumber :

Pengantar Redaksi:

Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi Mallarangeng punya lebih banyak waktu luang. Sambil menunggu pengadilan, ia mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif dengan membaca dan menulis. Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para tahanan. Andi menulis artikel ini dengan tulisan tangan, dan kemudian disalin kembali oleh Redaksi VIVAnews agar bisa dinikmati oleh pembaca. Andi berusaha menulis di rubrik “Analisis” sekali seminggu. Redaksi mengunggah tulisan baru Andi setiap hari Rabu.  

----

Mengapa Thailand ribut terus? Ekonominya relatif berkembang pesat dan reformasi politiknya sebenarnya sudah berjalan baik, tapi tetap saja negeri Gajah Putih ini dilanda prahara politik tak berkesudahan. Di akhir 2013 hampir setiap hari puluhan ribu orang menggelar demo di Bangkok, menduduki pusat pemerintahan, serta menuntut Perdana Menteri Yingluck Shinawatra mundur dari jabatannya.

Mundur? Pemimpin pemerintahan yang terpilih secara sah diminta turun oleh kaum demonstran? Otoritas “jalanan” ingin membatalkan suara mayoritas yang diperoleh dengan susah payah lewat pemilu yang adil dan terbuka. Rasanya tak masuk akal.

Tapi itulah Thailand. Beberapa hari pada Desember kemarin, situasinya sempat menajam. Kaum demonstran rupanya didukung cukup luas oleh kaum intelektual Bangkok, aktivis mahasiswa, aktivis LSM dan self-proclaimed moralists lainnya. Dipimpin oleh Suthep Thaugsuban (64 tahun), mantan Deputi PM pada pemerintahan sebelumnya, gerakan kaum demonstran ini disebut sebagai the yellow-shirt movement, gerakan berkaos kuning (warna kuning adalah simbol resmi Kerajaan Thailand). Mereka menegaskan bahwa mereka adalah pembela rakyat dan penyelamat martabat raja.

Dengan call setinggi itu, mereka bertahan tidak akan surut sebelum PM Yingluck menyerah, kalau perlu dengan melumpuhkan Bangkok, ibukota Thailand. Semua ini diperburuk lagi oleh kelakuan kaum oposisi, yaitu Partai Demokrat. Wakil-wakil mereka di parlemen serempak mengundurkan diri, bergabung dengan kekuatan jalanan. Dalam situasi kritis, kaum oposisi di parlemen bukannya membela aturan main demokrasi, mereka malah larut dan melebur menjadi kekuatan ekstra-parlemen.

Terhadap semua itu, untungnya PM Yingluck dan para pendukungnya (the red-shirt supporters, pendukung berkaos merah) mampu menahan diri, sehingga sejauh ini tidak terjadi bentrok berdarah yang parah. Langkah pemimpin wanita yang kalem dan berwajah menawan ini termasuk langkah yang taktis dan cerdas, namun bukan tanpa resiko besar. Ia mengembalikan mandatnya kepada Raja Bhumibol, membubarkan parlemen, serta menetapkan percepatan jadwal pemilu, yaitu 2 Februari 2014.

Langkah seperti ini memang biasa diterapkan dalam sistem parlementer untuk menghindari krisis berkepanjangan. Kalau perhitungan Yingluck tepat, maka dia dan partainya, Pheu Thai, justru dapat memperbarui mandat lewat pemilu. Dengan ini dia bisa membuktikan kepada kaum demonstran bahwa mayoritas rakyat masih memberinya kepercayaan penuh. Tapi dia bisa juga salah perhitungan dan kalah, sebab kaum oposisi dapat menggunakan waktu sebulan ini untuk meluaskan pengaruh mereka.

Singkatnya, solusi yang ditawarkan Yingluck masuk akal, sebuah jalan keluar yang adil buat semua. Lewat pemilu, Yingluck dan para penentangnya harus bersaing meyakinkan rakyat siapa yang pantas dan mampu memimpin Thailand. Pilih mana suka, pilih yang terbaik. Itulah demokrasi. Bagus, bukan?

Eh, ternyata tidak juga. Kaum demonstran dan kaum oposisi justru makin keras dan membatu. Mereka menolak solusi Yingluck. Pemilu bulan depan? No. Sebagai alternatifnya, kaum demonstran ingin agar pemerintahan Yingluck bubar dulu. Setelah itu, mereka ingin membentuk “dewan rakyat” yang menjalankan pemerintahan transisi sambil melakukan “reformasi”. Setelah semua ini berjalan, barulah pemilu diadakan. 

Enak betul. Tapi apa persisnya yang mereka maksud sebagai dewan rakyat? Siapa yang memilih orang-orangnya dan bagaimana komposisinya? Bukankah aksi jalanan kaum berkaos kuning adalah gerakan kontra-reformasi yang berkedok kepentingan rakyat? Kalau memang didukung suara mayoritas, kenapa mereka takut bersaing dalam pemilu?

Semua ini mengingatkan saya pada masa-masa awal reformasi di negeri kita. Setelah Pak Harto turun, sebagian kaum demonstran menyuarakan pembentukan dewan rakyat, atau presidium, yang berisi tokoh-tokoh masyarakat. Dewan ini akan diberi kewenangan transisional, mengawal reformasi sampai diadakannya pemilu yang jurdil. Tanpa ini, sebagian kaum demonstran kuatir bahwa sisa-sisa Orde Baru akan terus bertahan.

Kita bersyukur, waktu itu tuntutan demikian tidak menjadi suara dominan. Kalau diterima luas, pasti kerepotan kita akan berlipat kali dan krisis politik bisa makin menajam, sebab ide presidium tersebut bersifat anti-demokratis serta mengandung elemen yang membingungkan dan mudah mengundang konflik. Siapa yang menjadi anggota dan pimpinan presidium? Bagaimana dan kewenangan apa yang digunakan untuk memilihnya? Siapa yang mengontrolnya?

Indonesia memilih melakukan transisi demokrasi lewat jalan yang lebih terlembaga. Pergantian kekuasaan selalu dilakukan secara teratur, relatif damai, lewat pemilu yang semakin terbuka dan adil. Guncangan memang terjadi sedikit pada masa Presiden Gus Dur, tetapi setelah itu, dari Ibu Megawati ke Pak SBY, demokrasi Indonesia tumbuh semakin matang.

Eloknya lagi, Indonesia berhasil menjaga kesimbangan antara perubahan dan kesinambungan, change and continuity. Kekuatan politik baru bermunculan (PKB, NU, PKS, Partai Demokrat, Gerindra, dan partai lainnya) namun kekuatan lama yang telah eksis dalam Orde Baru (Golkar, PDIP dan PPP) ternyata sanggup bertahan dan menjadi bagian dari sistem demokrasi yang sehat dan berjalan baik. Kita tidak membubarkan partai tertentu. Kita tidak menolak eksistensi kekuatan apapun: kita justru menyerap mereka semua, menjadikannya bagian yang sah dan terhormat dalam tenda besar demokrasi Indonesia. 

Tahun ini akan ada dua pemilu besar, yaitu pileg dan pilpres. Demokrasi Indonesia akan diuji lagi. Tapi saya yakin, kita akan lulus dengan baik dan membuktikan sekali lagi, seperti kata majalah ternama The Economist beberapa tahun silam, bahwa Indonesia adalah the shining example of democracy in developing nations. 

Begitulah seharusnya negeri yang besar dan mau melangkah maju. Dari segi ini, sebagai warga RI, kita semua patut merasa bangga dan bersyukur. Walau kita tidak boleh lengah, tidak ada salahnya jika kita meresapi kebanggaan tersebut sedalam-dalamnya.

Kembali ke Thailand, kita belum tahu apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Mudah-mudahan semua pihak di sana mengedepankan akal sehat. Betapa sayangnya jika prestasi pembangunan ekonomi di negeri Gajah Putih ini, yang cukup gemilang dalam beberapa dekade terakhir, harus kandas karena desakan sepihak dari kaum yang justru mengatasnamakan kepentingan raja.

Kita tahu bahwa pada esensinya konflik yang terjadi sekarang  memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan ekonomi tersebut. Akarnya terletak pada perubahan sosial dan sukses pembangunan Thailand.

Kaum pendukung Yingluck, “pasukan” berkaos merah, umumnya memiliki akar sosial di daerah pedesaan, kaum semi-urban, terutama di daerah padat di Thailand utara. Pertumbuhan cepat ekonomi dalam dua dekade terakhir mengangkat nasib mereka. Loyalitas tertinggi tetap pada Raja Bhumibol, tapi mereka juga tahu bahwa kakak kandung Yingluck, yaitu mantan PM Thaksin Shinawatra, yang dikudeta tentara pada 2006 lalu, adalah pemimpin yang menelurkan banyak kebijakan yang membela nasib mereka, seperti subsidi kredit dan jaminan kesehatan.

Sejak kudeta tersebut, Thaksin memang menjadi man in exile, hidup berpindah di Hongkong, Dubai dan London. Namun terobosan kebijakan dari pemerintahan yang dipimpinnya tetap dikenang sebagai kebijakan pro-rakyat yang progresif.

Singkatnya, Yingluck, walaupun secara pribadi sebenarnya merupakan salah satu keluarga terkaya Thailand, adalah representasi politik arus bawah, kaum underclass di pedesaan dan kaum urban pinggiran yang kini mulai menggeliat serta menuntut porsi politik dan ruang partisipasi yang lebih besar lagi.

Sebaliknya, tokoh-tokoh gerakan berkaos kuning yang menentang Yingluck pada umumnya adalah perwakilan kelas menengah lama, kaum terdidik di Bangkok dan di wilayah selatan yang relatif lebih kosmopolitan. Mereka adalah warga kelas atas dan kaum urban yang selama ini menikmati banyak previleges dalam sistem monarki Thailand. Posisi sosial mereka makin terdesak, tersaingi oleh munculnya kelas menengah baru, mantan petani dan orang desa semi-urban yang jumlahnya semakin banyak. Bisa dikatakan, dalam posisi terdesak, kaum pendukung monarki dan kelas menengah lama ini sekarang bermetamorfosis menjadi  kaum reaksioner yang berusaha mempertahankan masa lalu.

Itulah sebabnya di koran New York Times seorang ahli Asia Tenggara dari Columbia University, Prof. Duncan McCargo, berkata bahwa protes kaum demonstran terhadap Yingluck akhir-akhir ini pada dasarnya adalah the last gasp of Thai paternalism.

Kita tahu bahwa dalam jangka panjang kehendak sejarah tidak mungkin dilawan. Kaum berkaos kuning tak bisa memutar arah jarum jam. Karena itu, dalam jangka pendek, satu-satunya yang mereka andalkan sekarang adalah dukungan kaum tentara, yang memang dalam tradisi politik Thailand selalu gampang tergoda untuk bermain politik. Sejauh ini, sikap tentara masih netral, cenderung menahan diri. Mudah-mudahan sikap ini terus mereka pertahankan.

Faktor lainnya adalah sikap Raja Bhumibol dan institusi kerajaan Thailand. Inilah faktor kunci, elemen pamungkas yang menutup semua argumen jika terjadi perbedaan pendapat. Tetapi untungnya, sama dengan tentara, sejauh ini raja dan keluarga kerajaan tidak memperlihatkan sikap yang eksplisit mendukung tuntutan kaum berkaos kuning.
 
Sekali lagi, sebagai tetangga dari negeri seberang, kita berharap semoga Raja Bhumibol, tentara, dan kaum yang bertikai di Thailand tetap mengedepankan akal sehat. Asia Tenggara sudah berjalan cukup jauh dan dianggap sebagai kawasan yang menjadi contoh sukses pembangunan di negara sedang berkembang. Kudeta serta goyang-menggoyang kursi kekuasaan: mustinya semua ini sudah menjadi masa lalu di kawasan kita.

Energi politik harus disalurkan secara terlembaga, lewat pemilu yang adil dan terbuka. Energi selebihnya kita gunakan untuk membangun ekonomi, meningkatkan pendidikan, memajukan kebudayaan, dan sebagainya.

Bukankah semua itu lebih baik?  


8 Januari 2014

Tinggal di Sini 100 Hari Bisa Awet Muda

Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.

VIVA Otomotif: Honda Brio Satya di IIMS 2023

Honda Brio dan Kijang Innova Kalah Laku dari Mobil Ini

Mobil itu mengungguli pesaing terdekatnya, Honda Brio Satya dan RS, yang terjual sebanyak 9.998 unit.

img_title
VIVA.co.id
19 Maret 2024