Andi Mallarangeng

Inferno, Neraka di Bumi. Betulkah?

Andi Mallarangeng
Sumber :
Pengantar Redaksi:
Indonesia Wins Two Champion Titles at 2024 All England


Muncul Wabah Langka dan Mematikan di Jepang, 21 Orang Meninggal
Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi Mallarangeng punya lebih banyak waktu luang. Sambil menunggu pengadilan, ia mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif dengan membaca dan menulis. Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para tahanan. Andi menulis artikel ini dengan tulisan tangan, dan kemudian disalin kembali oleh Redaksi VIVAnews agar bisa dinikmati oleh pembaca. Andi berusaha menulis di rubrik “Analisis” sekali seminggu. Redaksi mengunggah tulisan baru Andi setiap hari Rabu.   
Kemenkominfo Gelar Nobar Mengenal Literasi Digital Sejak Dini


----

Thomas Malthus mungkin tersenyum dalam kuburnya kalau saja dia tahu bahwa tesisnya tentang “matematika populasi” menjadi isu utama sebuah novel dengan judul menarik, “Inferno” (2013). 

Bukan kacangan, novel ini adalah karya Dan Brown, penulis papan atas dalam daftar best-seller dunia. Di dalamnya ada sejarah keluarga Medici (patron kaum ilmuwan, sastrawan, dan pelukis besar Abad Pencerahan Eropa seperti Sandro Botticelli dan Michelangelo), cerita tentang petualangan Profesor Harvard Robert Langdon yang dilengkapi dengan aksi-aksi mendebarkan, dan tentu saja seorang wanita cantik. Alur ceritanya menjadi lebih menarik lagi ketika isu ledakan penduduk dan cara mengatasinya dirangkai dengan jeli dan cukup terinci, dibarengi dengan teka-teki yang bersumber dari sebuah puisi epik, “The Divine Comedy”, karya sastrawan Italia terdepan abad ke-14, Dante Alighieri.

Dengan pengetahuan mendalam tentang sejarah Abad Pencerahan, dengan teknik bercerita yang piawai lewat singkapan peristiwa yang mendebarkan dan selalu mengundang rasa penasaran, Dan Brown berhasil menelurkan sebuah karya menarik, enak dibaca, serta memperkaya imajinasi kehidupan kita.   

Saya tidak ingin meresensi buku ini, sebab mungkin sudah banyak yang melakukannya. Tetapi isu sentral di dalamnya, yaitu kemungkinan ledakan penduduk dunia, terlalu menarik dan kontroversial untuk dilewatkan begitu saja tanpa pembahasan yang sedikit serius. Kemungkinan terjadinya eksplosi populasi inilah yang dianggap sebagai neraka, inferno
, oleh Profesor Bertrand Zobrist, aktor protagonis, sosok ilmuwan jenius dan kaya raya dalam novel ini.


Tentu saja, buku ini adalah sebuah karya fiksi. Namun justru karena itu ia menarik sebagai sebuah pintu masuk untuk membahas sebuah persoalan dunia yang memang sangat penting. Isu sosial dan konsep-konsep besar yang dimasukkan dalam alur fiksi memudahkan penyampaian pesan dan problematika yang ada di dalamnya menjadi lebih gampang dicerna serta mudah melekat di benak pembaca. Apalagi, pembaca fiksi jauh lebih banyak ketimbang pembaca buku ilmiah.


Berapa banyak orang yang sudah membaca karya besar Thomas Malthus, “An Essay on the Principle of Population” (1798)? Atau buku yang senada tetapi jauh lebih kontemporer, yaitu “Population Bomb” karya Paul Ehrlich (1968)? Buku terakhir ini termasuk karya ilmiah yang laris manis pada zamannya, tetapi jumlah pembacanya pasti jauh lebih kecil ketimbang penikmat karya-karya Dan Brown.


Malthus, Ehrlich, Zobrist


Profesor Zobrist dalam buku ini adalah perwakilan ekstrem dari kaum yang mencemaskan terjadinya ledakan penduduk dunia dalam waktu dekat. Ilmuwan jenius ini menemukan cara drastis untuk mengatasi persoalan abadi tersebut, yaitu
culling
, pemusnahan secara acak sepertiga penduduk dunia. Mengikuti skematika Dante Alighieri, jalan keluar radikal inilah yang akan membawa dunia menuju
paradiso
, setelah melalui neraka dan pencucian dosa,
inferno
dan
purgatorio


Pertanyaan kita adalah, apakah kecemasan demikian cukup beralasan? Sejauh mana tesis Malthus, Ehrlich, dan Zobrist benar? Apakah ledakan penduduk memang tidak bisa diatasi secara alamiah dan dunia saat ini sedang menuju pada kehancuran?


Tesis Malthus sederhana. Perkembangan penduduk selalu lebih cepat ketimbang kemampuan manusia untuk memproduksi makanan. Manusia berkembang dengan mekanisme deret ukur (skala geometri), sementara produksi makanan bertumbuh dengan deret hitung (skala aritmatika).


Pada titik tertentu, menurut Malthus, ketika jumlah penduduk sudah begitu banyak, makanan terlalu sedikit, maka kontrol alamiah,
natural checks
, akan terjadi. Wujudnya macam-macam, termasuk konflik berdarah, perang, atau wabah penyakit. Kalau semua ini masih belum bisa mengurangi jumlah penduduk secara drastis, maka wabah kelaparan akan menyelesaikannya.


Paul Ehrlich mempertajam thesis Malthus dengan memperlihatkan data-data pertumbuhan penduduk dunia yang memang meroket, terutama menjelang awal dan pertengahan abad ke-20. Ehrlich membuat kejutan pada akhir dekade 1960an bukan hanya karena data-datanya tampak begitu meyakinkan, tetapi juga karena ungkapan yang digunakan sebagai judul bukunya, yaitu bom penduduk,
population bomb
. Jangan lupa, dekade itu adalah puncak Perang Dingin, di mana bom nuklir sedang menjadi momok baru: buku Ehrlich justru menjelaskan bahwa momok sebenarnya bukanlah senjata pamungkas tersebut, melainkan diri kita sendiri, yaitu manusia-manusia yang berkembang terlalu cepat dan terlalu banyak (waktu itu 3,5 miliar jiwa), dengan daya dukung lingkungan yang selalu terbatas.


Profesor Zobrist, Sang Jenius ciptaan Dan Brown, kemudian melanjutkan ekstrapolasi Malthus dan Ehrlich dengan memperlihatkan bahwa
all hope is lost
, tidak ada lagi jalan keluar yang mungkin ditempuh dengan cara normal. Kontrasepsi lewat pil, kondom, dan sebagainya tidak efektif dan ditentang gereja serta para pemuka agama. Dengan data yang lebih baru lagi, dengan kecemasan yang lebih pekat lagi, Sang Jenius berkesimpulan bahwa
Malthussian catastrophe
tinggal menunggu waktu. Umat manusia sedang berjalan menuju neraka. Karena itu, hanya dengan memangkas sepertiga jumlah penduduk, maka dunia akan selamat.
Paradiso.


Perempuan menyambut modernitas


Kecemasan terhadap ledakan penduduk sebenarnya cukup beralasan, dan tampaknya ia selalu muncul dari waktu ke waktu. Tapi apakah fakta-fakta yang ada cukup mendukung kecemasan ekstrem seperti yang dirasakan Profesor Zobrist?


Kalau dilihat dalam skala historis, perkembangan penduduk memang menunjukkan sebuah gejala eksplosi. Dunia membutuhkan beribu tahun untuk mencapai jumlah penduduk satu miliar pada awal abad ke-19. Setelah itu, dengan penemuan obat antibiotika (penicillin) dan perkembangan ilmu kedokteran modern, jumlah penduduk berlipat dua menjadi 2 miliar hanya dalam seabad, yaitu pada tahun 1920. Kemudian, hanya selang 50 tahun, jumlah penduduk menjadi 4 miliar jiwa. Sekarang (2013), penduduk dunia sudah hampir berlipat dua lagi, yaitu 7 miliar jiwa. Semua ini adalah fakta yang tak terbantahkan.

 

Kaum yang cemas akan berkata bahwa kalau begitu, dalam waktu satu atau dua generasi ke depan, jumlah penduduk dunia akan berlipat lagi menjadi sekitar 13-15 miliar jiwa. Setelah itu? Berlipat dua lagi, dan karena hitungannya adalah deret ukur, terjadi dalam waktu lebih singkat? Ujungnya apa?  


Jadi, dari fakta yang sudah terjadi, kalau diteruskan dengan cara berpikir yang sama, kecemasan yang ada memang masuk akal. Tapi untungnya, perkembangan data-data terbaru menunjukkan banyak hal berbeda, atau setidaknya tidak sesederhana jalan berpikir ala Profesor Zobrist. Menurut perhitungan PBB, akan ada puncak grafik pertumbuhan penduduk, yaitu pada jumlah 9 miliar jiwa, yang akan tercapai 30 atau 40 tahun lagi. Dari puncak ini, perkembangan penduduk akan terus menurun.


Populasi penduduk di China, misalnya, akan mencapai puncaknya 7 tahun lagi, dengan jumlah 1,4 miliar jiwa. Setelah itu, angkanya akan stagnan atau menurun, sama dengan tren yang telah terjadi di AS, Eropa, Jepang, dan negara-negara maju lainnya. Dari pengamatan PBB, pertumbuhan penduduk yang meningkat nantinya hanya terjadi di Afrika Sub-Sahara, tetapi jumlah penduduk di wilayah ini relatif kecil.  

   

Faktor apa yang berada di balik penurunan itu? Sederhana saja: indeks fertilitas kaum perempuan cenderung menurun. Di China saat ini indeks tersebut adalah 1,4, sudah sama dengan indeks fertilitas di Jerman. Di Korea Selatan ia lebih kecil lagi, yaitu 1,3. Di Taiwan indeksnya malah 1,0. Jepang sudah sejak lama mengalami hal yang sama.


Indeks fertilitas ini penting sebab ia menunjukkan berapa anak yang lahir dari rahim seorang perempuan. Tentu saja tidak ada manusia satu koma tiga atau satu koma empat. Angka ini adalah angka statistik atau jumlah rata-rata bayi yang dilahirkan oleh himpunan kaum perempuan di sebuah negara. Semakin rendah indeks ini, semakin sedikit anak yang lahir. Untuk mempertahankan jumlah penduduk yang stabil, indeks fertilitas harus berkisar pada angka 2,0 atau 2,1, sebab satu keluarga minimal terdiri dari dua orang, satu pria satu perempuan. Di bawah itu, jumlah penduduk akan menurun, persis seperti di Jerman, Jepang, Taiwan, dan negara maju lainnya.


Jadi sederhananya, kecemasan orang seperti Profesor Zobrist dimentahkan oleh kaum perempuan. Mereka menyelamatkan dunia bukan dengan cara yang aneh-aneh atau ekstrem, tetapi dengan cara yang paling alamiah: mengurangi jumlah bayi yang lahir dari rahim mereka. Pertanyaan penting di sini adalah, kenapa mereka melakukannya? Setelah eksplosi populasi di awal dan pertengahan abad ke-20, mengapa indeks fertilitas kaum perempuan sekarang cenderung menurun? Adakah mekanisme alamiah yang bekerja di sini?


Terhadap semua itu, kaum sosiolog akan berkata bahwa kuncinya terletak pada modernitas dan kemajuan ekonomi yang meningkatkan pendidikan, termasuk pada kaum perempuan. Perempuan yang terdidik memiliki akses yang lebih terbuka pada dunia pekerjaan. Dengan pendidikan dan pekerjaan, dunia dan wawasan mereka terbuka, bukan hanya sebatas kawin dan melahirkan anak. Semua ini menciptakan motivasi bagi kaum perempuan untuk menunda perkawinan atau mengurangi beban waktu dalam merawat anak.


Tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak jarang kita temukan perempuan yang sangat terdidik, tetapi memilih keluarga sebagai “karir” dan pusat pengabdian mereka. Tidak jarang pula kita temukan kaum perempuan yang bekerja dan tetap sanggup membesarkan tiga, empat atau lima anak. Terhadap mereka semua kita harus angkat topi dan memberikan simpati yang sebesar-besarnya. Tetapi bagaimanapun, dalam masyarakat yang maju dan modern, jumlah kaum perempuan seperti ini akan semakin mengecil. Arus besarnya tetap sama di semua negara:
the arrival of modern women, with more education and less children.


Bagaimana dengan Indonesia?
Sami mawon
. Bahkan dalam beberapa hal, kaum perempuan di negeri kita perlu mendapat acungan dua jempol. Kalau di China ada elemen paksaan dalam membatasi eksplosi populasi, di Indonesia pengenalan program KB (Keluarga Berencana) yang dimulai secara sistematis di awal tahun 1970an disambut dengan tangan terbuka. Pak Harto, sang penguasa Orde Baru, tidak memaksakan program ini: kaum perempuan menganggapnya sebagai ajakan untuk bergerak maju, dan karena itu mereka menyambutnya dengan relatif antusias.


Kaum perempuan tidak mau lagi dianggap sekadar sebagai
konco wingking
. Mereka juga menolak ungkapan banyak anak banyak rejeki. Sama dengan kaum perempuan di mana pun, begitu ada kesempatan mereka ingin bebas dari kungkungan masa lalu. Inilah kuncinya mengapa program KB berjalan mulus dan indeks fertilitas di Indonesia menurun drastis. Memang, sejak zaman reformasi, ada kecenderungan bahwa indeks ini bergerak naik. Tapi rasanya, ia hanyalah gejala temporer, sebuah akibat dari reposisi peran pemerintahan daerah yang kini menjadi penanggung jawab terdepan pelayanan publik, termasuk pengelolaan program KB.


Di tahun-tahun mendatang, setelah hubungan pemerintahan pusat-daerah menemukan titik keseimbangan baru yang ideal, masalah kependudukan akan kembali dianggap serius. Dan jika ini terjadi, sama dengan sebelumnya, kaum perempuan Indonesia akan memberi respon positif, menyambut arus modernitas dengan sepenuh hati.


Semua hal itulah yang tidak diperhitungkan oleh kaum Mathussian, termasuk Profesor Zobrist. Mereka keliru karena meremehkan peran kaum perempuan. Respon kaum perempuan terhadap modernitas adalah penyelamat bagi dunia, khususnya dalam isu eksplosi populasi.


Dalam ungkapan Dante, kaum perempuan memberikan surga,
paradiso
, tanpa perlu menggiring kita untuk terlebih dahulu merasakan kelamnya neraka.



25 Desember 2013   



Andi Mallarangeng
adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya