Andi Mallarangeng

Nobel Ekonomi, Pasar Politik

Andi Mallarangeng
Sumber :
  • Istimewa

Pengantar Redaksi:

Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi Mallarangeng memiliki waktu luang yang berlebih untuk membaca buku dan menulis. Sambil menunggu pengadilan, Andi mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif.

Kolom ini adalah tulisan kedua Andi yang dimuat VIVAnews, setelah mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para tahanan, Andi menuliskan pikirannya dengan tangan dalam beberapa lembar kertas. Tulisan ini lalu disalin kembali oleh Redaksi VIVAnews untuk dihadirkan ke hadapan pembaca.

Menko PMK Murka, Bus Lama Dicat Baru Jelang Libur Lebaran 2024

-----

ADA yang menarik pada pemberian Hadiah Nobel ekonomi tahun ini. Eugene F. Fama, guru besar ekonomi University of Chicago, dan Robert J. Shiller, guru besar ekonomi University of Yale, dikenal mewakili aliran yang bertentangan. Namun, panitia Nobel toh menetapkan keduanya, bersama Lars P. Hansen, guru besar ekonomi University of Chicago, sebagai sebagai pemenang penghargaan keilmuan paling bergensi itu.

Prof. Fama dikenal sebagai Bapak teori pasar efisien, efficient markets theory, yang intinya menjelaskan bahwa harga merefleksikan seluruh informasi yang tersedia. Pasar bekerja secara efisien dalam menetapkan harga. Konsekuensinya, pasar tidak membutuhkan banyak aturan, karena ia akan menyesuaikan harga-harga sesuai dengan informasi yang ada.

Sebaliknya, Prof. Shiller berpendapat bahwa tidak ada pasar yang sempurna. Harga bisa terpengaruh oleh perilaku irasional, oleh kecemasan atau harapan berlebihan dari para pelaku ekonomi. Bagi Prof. Shiller, pasar justru bekerja secara tidak efisien. Hal ini bisa dilihat dari munculnya bubble, yaitu melambungnya harga barang atau jasa tertentu akibat sentimen konsumen yang tidak jelas dasarnya. Ia disebut “bubble” karena gelembung harga ini sifatnya seperti busa, isinya kosong melompong, dan karenanya sewaktu-waktu bisa gembos begitu saja. Kalau ini terjadi, maka harga akan terkoreksi tajam dan krisis ekonomi mengancam.

Panitia Nobel menetapkan Prof. Fama dan Prof. Shiller sebagai pemenang justru karena masing-masing guru besar ini hanya memiliki setengah dari kebenaran. Dengan mengakui pencapaian kedua ekonom ini pada saat bersamaan, panitia Nobel mungkin beranggapan bahwa kebenaran yang utuh akan kita peroleh.

Perdebatan Prof. Fama dan Prof. Shiller memang merupakan diskusi intramural dalam keluarga besar kaum ekonom. Tapi sebenarnya, bagi ilmuwan politik banyak pelajaran yang dapat dipetik darinya. Jangan lupa, bekerjanya pasar bebas di dunia ekonomi barangkali tidak jauh berbeda dengan dinamika percaturan ide-ide di alam demokrasi.

Dalam politik, partai dan kandidat-kandidatnya adalah penjaja yang menawarkan ide-ide yang mereka anggap menarik atau terbaik bagi sejumlah konsumen (kelompok pemilih, bangsa, atau masyarakat tertentu). “Harga” yang muncul akibat interaksi penawaran-permintaan ini dapat dilihat dari hasil survei, dan puncaknya dari hasil pemilu secara berkala. Harga tersebut tidak akan terdistorsi jika survei memang dilakukan secara ilmiah serta pemilu dilaksanakan dengan bebas, jujur dan adil.

Jika mengikuti Prof. Fama, apapun hasil pemilu dan pilkada, itulah produk terbaik pilihan rakyat. Tak perlu ada keraguan tentangnya. Rakyat memilih berdasarkan informasi yang tersedia di sekitarnya saat itu. Kalau suatu saat sebagian besar incumbent menang dalam pilkada, sebabnya adalah karena mereka memang saat itu dianggap yang terbaik menurut informasi yang tersedia tentang semua kandidat. Kalau seorang selebriti yang terpilih, sebabnya karena memang pemilih menganggapnya sebagai kandidat terbaik dari pilihan yang ada. Di sini, kata kuncinya adalah popularitas dan elektabilitas.

Sebaliknya, teori Prof. Shiller akan menganggap bahwa seperti juga pasar ekonomi, ide-ide dalam demokrasi bekerja secara tidak sempurna. Akses informasi bagi pemilih terhadap para kandidat tidaklah sama. Informasi tentang incumbent lebih mudah didapatkan ketimbang informasi tentang kandidat lainnya. Begitu pula dengan para selebriti. Jadi, teori ini dapat membenarkan munculnya banyak regulasi dalam pemilu, yang dibuat untuk menciptakan kesempatan bersaing antar-kandidat yang lebih adil dan berimbang.
 
Prof. Shiller juga mengingatkan kita agar berhati-hati dengan perilaku pemilih yang irasional. Bisa saja, dalam suatu kurun tertentu, pemilih tiba-tiba menggandrungi seorang kandidat atau partai tertentu dengan alasan yang sebenarnya tidak terlalu jelas. Hal ini akan menciptakan bubble politik yang pada dasarnya pepesan kosong belaka. Atau bisa juga, publik tiba-tiba membenci seorang kandidat secara irasional, dengan sentimen “asal bukan dia.”

Untuk menghindari hal tersebut, regulasi pemilu dan pilkada memang dibutuhkan agar rakyat mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang setiap kontestan. Filosofinya bisa dimengerti dari ungkapan sederhana ini: jangan beli kucing dalam karung. Selain itu, kampanye hitam yang mendistorsi informasi tentang kandidat atau partai tertentu juga harus dicegah.

Tetapi betapapun perlunya, kita harus berhati-hati dalam menciptakan peraturan, apalagi dalam dunia politik. Regulasi tidak dengan sendirinya benar dan bermanfaat. Terlalu membatasi kampanye dan alat peraga tentu hanya akan menguntungkan kandidat yang sudah terkenal, seperti incumbent dan kaum selebriti. Sebaliknya, regulasi yang minimal akan menguntungkan kandidat yang kaya dan berkuasa.

Di sinilah peran penting KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai regulator yang independen. Ia harus mencari keseimbangan yang pas dengan menciptakan regulasi yang masuk akal, adil, serta dapat ditaati semua pihak. Kalau pertandingan sepakbola akan diikuti oleh beberapa tim yang dikenal sanggup dan terkadang mau bermain kayu, maka peran wasit menjadi sangat vital. Karena itu, KPU harus kita perkuat, dan barangkali lembaga ini juga perlu terus belajar, misalnya dengan mengkaji best practices yang telah dilakukan di berbagai negara demokrasi yang telah mapan.

Walaupun Prof. Fama dan Prof. Shiller saling bertentangan, tetapi dalam aplikasi teori-teori mereka di dunia non-ekonomi, rasanya kedua guru besar ini akan sepakat bahwa bekerjanya pasar bebas ide-ide adalah syarat utama sebuah negara demokratis. Biarkan pemilih berposisi sebagai raja, sementara kaum politisi bersaing dalam pemilu menawarkan ide serta program mereka. Vox populi, vox dei. Siapapun pemenangnya harus kita terima sebagai perwujudan tertinggi kehendak rakyat,  sambil kita berdoa, mudah-mudahan yang terbaik yang akan menang.

Kalau tidak puas, jangan kuatir, pasar politik juga akan melakukan koreksi dengan sendirinya melalui pemilu secara berkala. Pihak yang menang dipersilakan mengambil tongkat kepemimpinan. Pihak yang belum beruntung didorong untuk berusaha lebih baik lagi dalam pemilu berikutnya.


Jakarta, 2 November 2013


Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik dari University of Illinois, DeKalb, Amerika Serikat.

Ragnar Oratmangoen Ingin Bawa Timnas Indonesia ke Piala Dunia
Jadwal pemberlakuan one way dan contra flow tol trans Jawa

INFOGRAFIK: Jadwal Sistem One Way dan Contra Flow Tol Trans Jawa Mudik-Arus Balik Lebaran 2024

Kementerian Perhubungan, Korlantas Polri, dan Kementerian PUPR akan mengatur lalu lintas untuk memperlancar arus mudik dan arus balik pada periode lebaran tahun 2024.

img_title
VIVA.co.id
19 Maret 2024