Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan

"Pasar Kedelai Kita Oligopoli"

Rusman Heriawan
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Harga kedelai kian melambung. Di tangan perajin, harga komoditas itu telah menyentuh Rp9.000-12.000 per kilogram. Lebih tinggi dibanding harga normal Rp7.000-8.000 per kilogram.

Kenaikan harga ditengarai karena pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Komoditas kedelai yang mayoritas diimpor telah memengaruhi harga di pasar.

Wuling Cloud EV Tak Pakai Sunroof, Ini Alasannya

Catatan Kementerian Pertanian menyebutkan, konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5 juta ton. Padahal, produksi kedelai di dalam negeri rata-rata hanya 700-800 ribu ton per tahun. Kondisi yang kemudian ikut memicu sejumlah perajin tahu dan tempe mogok produksi.

Selain itu, penguasaan pasar oleh empat sampai lima pemasok besar swasta membuat harga keledai dapat melonjak liar. Penguasaan pasar oleh sekelompok kecil pedagang (oligopoli) dan praktik kartel harga bukan hanya sekedar tudingan, tapi juga sudah merupakan fakta di pasar kedelai kita.

PAN Usulkan Eko Patrio jadi Menteri: Sudah 3 Periode di DPR RI

Untuk mengetahui kondisi salah satu pangan strategis ini, VIVAnews mewawancarai Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, di kantornya. Berikut petikannya:

Harga kedelai kini melambung, perajin tahu dan tempe pun sempat mogok produksi. Bagaimana Anda melihat posisi strategis komoditas pangan ini?
Begini ya, pertama yang harus kita tahu dulu, kedelai itu sebenarnya tanaman subtropis dan kurang cocok di Indonesia. Tapi, kami tetap melihat sebagai komoditas pangan strategis. Karena, sejak zaman dulu, oleh orang tua kita, kedelai memang sudah ditanam, sebagai satu-satunya bahan baku pangan yang dikonsumsi kebanyakan orang Indonesia, yaitu tahu dan tempe. Meskipun, budidaya kedelai di Indonesia lebih sulit daripada di negara subtropis seperti di Amerika, Brasil, Argentina, dan daerah Amerika Latin lainnya.

iBox Obral Macbook Pro M1, Harganya Jadi Murah Banget

Tetapi, itu bukan alasan bagi kita untuk tidak memprioritaskan kedelai ini. Memang, kita tidak mengonsumsi kedelai secara langsung. Tapi, pada kenyataannya, yang kita konsumsi itu tahu dan tempe yang bahan bakunya 100 persen dari kedelai. Harus dilihat posisi kedelai seperti itu.

Apakah tidak bisa digantikan dengan jenis kacang-kacangan lain?
Memang, ada juga kacang-kacangan lain yang bisa dijadikan bahan baku tahu tempe. Tapi, ini masih panjang jalannya, seperti kara dan biji-bijian lainnya. Ini baru tahap pengembangan, uji coba alternatif lain di luar kedelai. Kita coba bikin tahu tempe bukan satu-satunya dari kedelai. Walaupun, belum tentu juga disukai oleh kebanyakan masyarakat yang sudah cinta tahu tempe dari kedelai.

Tapi, bukannya kita pernah swasembada kedelai?
Benar, kita pernah swasembada kedelai. Tahun 92-an mendekati 2000, pernah bisa menghasilkan kedelai 1,5 juta ton dengan luas lahan 1,5 juta
hektare. Boleh jadi, karena luasnya lebih dari 1 juta hektare, produksinya 1,5 juta ton. Waktu itu, konsumsi kedelai sekitar itu, ya, kita swasembada. Tapi, perjalanan kemari, ada perkembangan yang kurang mendorong orang menanam kedelai.

Beberapa faktor penyebab adalah dari sisi harga. Pada 1992, harga kedelai 1,5 kali harga beras. Jadi, kalau harga beras Rp4.000 per liter, harga kedelai Rp6.000 per kilogram. Sekarang kan terbalik. Harga beras Rp8.000 per liter, harga kedelai di bawah itu. Kalau pas musim panen kedelai, harganya bisa di bawah Rp5.000 per kilogram. Jadi, dari situ saja, orang bisa melihat lebih untung tanam padi daripada kedelai.

Selain itu, umumnya kedelai ditanam bukan di lahan tunggal, lahan yang ada kompetisinya dengan tanaman lain. Misalnya, pola orang tanam padi. Setelah padi, baru kedelai di lahan yang sama. Jadi, umumnya tidak ada lahan khusus untuk menanam kedelai. Itu yang kemudian harus mencari lahan baru yang
khusus dimonopoli kedelai. Misalnya di Aceh, atau daerah lain.

Berapa sebenarnya luas lahan tanam kedelai sekarang?
Luas lahan panen kini kurang dari 600 ribu hektare, sekitar 571 ribu hektare. Produksinya cuma 850 ribu ton. Kebutuhan 2,5 juta ton. Kalau dulu tahun 1992 masih 1,5 juta ton, kebutuhan bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Kemudian, penduduk bertambah, dan tahu tempe tidak lagi dianggap makanan orang kebanyakan, makanan golongan orang bawah. Presiden pun suka makan tahu tempe. Jadi, konsumsi tahu tempe meningkat luar biasa, sehingga konsumsinya meningkat jadi 2,4-2,5 juta ton.

Sekarang, dengan produksi 850 ribu ton, berarti cuma 30 persen dari kebutuhan kita yang 2,5 juta ton. Untuk penuhi produksi dalam negeri, terpaksa diimpor dan impor ini kebanyakan dari Amerika. Selain itu, ada dari Brasil dan Argentina.

Beberapa tahun lalu juga sempat terjadi gejolak kedelai, apakah pemerintah tidak belajar dari kasus itu?
Ini memang peristiwa ketiga kalinya yang hampir berdekatan. Tahun 2006 juga begitu. Persis setahun lalu, ada ribut-ribut kedelai, dan ketiga, ya sekarang ini. Cuma bedanya, kalau pada 2012, persoalannya suplai dunia mengecil, karena kemarau panjang di Amerika Serikat menyebabkan produksi kedelai mereka menurun. Padahal, suplai dunia ini sebagian besar dari Amerika Serikat. Kedua, konsumsi yang meningkat di China. Jadi, kalau Amerika bisa menghasilkan 80 juta ton kedelai, 60 juta ton itu diimpor ke China. Jadi, berebut. Harga kedelai pun naik karena suplai terbatas.

Kalau tahun ini, apa pemicu utama kenaikan harga kedelai?
Sekarang berbeda. Produksinya bagus, tapi ada penguatan dolar, sehingga harga dalam rupiah menjadi naik. Nah, ini kira-kira situasinya. Selain itu, importir kedelai kan terbatas, hanya 5-6 importir. Saya tidak mengatakan kartel, terlalu dini. Tapi, kan situasi pasar menjadi oligopoli, hanya ditentukan beberapa pemain. Ini juga bisa berpotensi dicurigai main harga. Walaupun ada kurs dolar yang menguat, wajar saja ada tuduhan seperti itu.

Kondisi itu yang kemudian mendorong Bulog untuk impor kedelai?
Ya, itu juga sesuai peraturan Presiden. Ada perpres yang dikeluarkan empat bulan lalu terkait penugasan Bulog untuk penyaluran kedelai dan stabilisasi harga. Kami bersyukur, Kementerian Perdagangan, walaupun terlambat, akhirnya juga mengizinkan Bulog untuk mengimpor. Bagaimana pun, pengendalian harga itu hanya bisa dilakukan kalau pemerintah menguasai stok.

Kalau seperti beras, Bulog kan menguasai stok pemerintah cukup besar, jadi bisa mengintervensi pasar. Tapi, kalau nggak punya barangnya, kedelai tidak punya, bagaimana bisa intervensi pasar. Sekarang, kami menambah penugasan pada Bulog untuk boleh impor kedelai. Tapi, impor kedelai itu pilihan terakhir, termasuk untuk Bulog. Tugasnya tetap, bagaimana dia membeli kedelai dalam negeri dari hasil petani kita sendiri. Kalau ini jalan, Bulog bisa mengimpor pada waktu yang cepat dan membeli kedelai dari petani. Dengan begitu, pemerintah punya instrumen yang tepat untuk mengendalikan harga.

Persoalan lain, kebanyakan kedelai kan masih didatangkan dari Amerika. Bagaimana pemerintah meningkatkan produksi lokal?
Tugas Kementerian Pertanian kan bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri. Bagaimana memperbaiki budidaya kedelai supaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Nah, dua hal itu yang kami lakukan. Kami terus mencari lahan baru untuk penambahan luas lahan kedelai. Yang prospek itu di Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Kita nggak perlu mengembangkan di seluruh Indonesia, nggak usah latah-latah. Tapi, cukup yang mempunyai leverage atau daya ungkit besar. Jawa Timur itu yang paling besar. Sekitar 50 persen produksi kedelai lokal dihasilkan di Jawa Timur. Luas panennya 230 hektare, produksinya 374 ribu ton. Kalau bisa mengoptimalkan produksi dari daerah-daerah ini, produksi kedelai akan meningkat. Tapi, bukan berarti provinsi lain tidak boleh dikembangkan.

Berapa sebenarnya perbandingan produksi kedelai di Amerika dengan domestik?
Amerika 80 juta ton. Kita cuma 850 ribu ton. Bukan bandingannya. Selain itu, model kedelai kita kan konvensional. Di Amerika dan Brasil kan pakai GMO (genetic modified organism). Di Indonesia belum bisa diterima. Mungkin karena masalah lingkungan dan segala macam, takut membawa penyakit, bakteri atau lainnya. Tapi, lucunya, produk yang kita impor dari Amerika dan Brasil kan produk GMO, produk transgenik, yang nantinya diolah jadi tahu tempe. Sedangkan pengembangan di Indonesia masih kontroversial. Masih dikaji oleh para ahli transgenik yang ada di Indonesia. Kalau memang mau buat lompatan besar tentang kedelai, ya, pakai model GMO.

Harga pembelian pemerintah kini Rp7.000 per kilogram, otomatis petani kedelai menjadi bersemangat. Apakah ada insentif dari pemerintah?
Insentif ada dua. Pertama di hulu. On farm, kami berikan bibit unggul yang disubsidi. Mereka membelinya tidak dengan harga pasar, tapi sudah disubsidi oleh pemerintah. Untuk program-program tertentu, kami berikan gratis. Kedua, kami memberikan kredit. Kredit usaha bisa lewat KUR (kredit usaha rakyat). Persoalannya, kreditnya ada, tapi bagaimana petani bisa mengakses kredit itu. Yang ketiga adalah pengawalan dari penyuluh supaya hasilnya baik. Yang terakhir tentu harga jual yang menjanjikan.

Dari semua itu, yang berpengaruh adalah harga. Percuma juga diberi bantuan bibit murah, bagus, dan segala macam, tapi pada akhirnya, ketika dijual harganya tidak sesuai dengan harapan petani. Tapi, sekarang Rp7.000 itu sudah lumayan, sudah memberikan keuntungan 15 persen.

Kalau insentif hilir berupa apa?
Hilirnya ya harga. Harga jual yang bagus.

Berapa sebenarnya jumlah impor kedelai yang sudah dilakukan?
Tahun 2012, impornya 2,1 juta ton. Ketika itu produksinya 840 ribu ton. Sekarang, memang belum ada data. Enam bulan pertama tahun ini sudah 860 ribu ton. Jadi, impornya lebih sedikit dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Beberapa pengamat melihat ada potensi kartel dalam beberapa komoditas pangan. Kedelai termasuk di dalamnya. Tanggapan Anda?
Begini, kecenderungan kartel itu kalau ada kesempatan, ada kondisi pasarnya. Yang kedua adalah ada niat yang menentukan harga, memengaruhi harga. Kondisi pasar itu bisa memungkinkan kartel, karena pasar kedelai kita oligopoli. Supplier-nya terbatas, tapi peminatnya banyak. Itu pasar oligopoli. Oligopoli itu pasarnya sedikit dan pembelinya banyak. Itu berlaku untuk kedelai.

Yang kedua, ada nggak niatnya? Kalau tidak ada, ya, tidak apa-apa. Mencari keuntungan itu tidak apa-apa. Tapi, ya, jangan mencari keuntungan dalam kesempitan. Kalau yang bagian itu saya tidak bisa menilai. Itu bagian KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang bisa menyelidiki. (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya