Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo

"Mereka Pikir Bikin Subway Seperti Martabak"

Fauzi Bowo Kunjungi Banjir Pondok Labu
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo ternyata doyan guyon juga. Saat berkunjung ke kantor redaksi VIVAnews.com, Selasa kemarin, 17 Januari 2012 , dia tak henti berkelakar sembari membahas berbagai langkahnya menata dan mengurai kesemrawutan Jakarta. Lihat fotonya di sini.

Bikin Silau, Harga Emas Antam Kembali Tembus Rekor Tertinggi

“Mungkin gara-gara sering kena asbak Bang Ali, makanya saya sekarang jadi Gubernur… hahaha,” katanya, sembari terbahak.

Fauzi mengawali karirnya di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 1979—hampir 33 tahun lalu—sebagai Pelaksana Tugas Kepala Biro Kepala Daerah DKI. Foke, begitu ia dipanggil, adalah “anak Menteng” yang lahir di Jakarta, 63 tahun silam. “Ahlinya Jakarta” ini menyandang gelar Doktor Ingenieur di bidang perencanaan kota dari University of Kaiserslautern, Jerman, pada tahun 2000. 

Persebaya Bertekad Bangkit Lawan Persib

Berikut petikan perbincangan VIVAnews.com dengan Gubernur Jakarta ke-13 ini:

Menurut Anda apa hal terpenting yang harus dibenahi di Jakarta?

Beri Minuman Bekas ke Sus Rini, Perilaku Manner Nagita Slavina Jadi Sorotan

Pembelajaran bahwa kota ini adalah cermin dari kita semua. Tidak ada gunanya mengomel. Mari kita bangun semua bersama. Perilaku masyarakat kota ini masih cuek, dibandingkan kota-kota besar di negara lain di mana warganya lebih bertanggung jawab. Antara hak dan kewajiban itu harusnya seimbang. Kalau di sini kan hak melulu yang dituntut, kewajibannya susah.

Anggaran DKI mencapai Rp36 triliun setahun. Masih kurang?

Jika semua wish list yang diusulkan di musyawarah perencanaan pembangunan diakomodasi, kebutuhan anggaran itu sebetulnya lima kali lipat dari Rp36 triliun ini. Ya, kami harus survived. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di negara lain, anggaran DKI tidak seberapa jika melihat jumlah 10 juta penduduknya.

Bisa diberikan perbandingan?

Anggaran Istanbul, Turki, itu kira-kira di atas Rp100 triliun setahun. Tapi kebutuhannya memang luar biasa. Contohnya, mereka mampu menangani kebutuhan air minum warganya di level sekitar 80 persen lebih. Mereka sudah punya sistem air bersih yang terintegrasi dengan air laut. Sementara di Jakarta baru 3 persen. Kita perlu dana untuk itu. Kalau menunggu pemerintah pusat, sama juga menunggu godot … hehehe.

Kalau pendidikan?

Dengan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang dulu Rp400 ribu per siswa SD, DKI harus nombok Rp720 ribu. Untuk SMP malah hanya Rp575 ribu. Kami harus nombok lebih besar lagi, Rp1,1 juta untuk tiap siswa. Untuk SMA, pemerintah pusat malah tidak kasih sama sekali, jadi terpaksa kami yang keluarkan dana BOS. Saya kerja bukan untuk dapat bintang, saya kerja buat rakyat Jakarta. Kebutuhan warga Jakarta itu berbeda dari kebutuhan di tempat lain. Tidak pada tempatnya saya membandingkan. 

Apa formula utama untuk mengurai semrawutnya tranportasi Jakarta?

Kami sebetulnya sudah lama punya pola transportasi makro. Di situ sudah jelas, dasarnya harus mass transport, dan yang paling efektif itu transportasi berbasis rel. Jadi, yang sudah ada harus direvitalisasi, ditingkatkan kapasitasnya. Yang belum ada, harus dibangun.

Kenapa justru busway yang dikembangkan?

Karena kemampuannya cuma sampai segitu. Doku-nya (istilah prokem untuk ‘uang’) cuma cukup bakal itu. Mau kredit tidak ada yang kasih. Itu kenyataannya. Kami bangun dulu apa yang memungkinkan. Sistem bus ini kan sudah ada sejak lama. Sejak saya mulai kerja di Pemprov DKI, sudah ada 13 perusahaan angkutan. Yang tersisa sekarang cuma Mayasari Bakti. Yang lain innalillahi, selesai. Duitnya ke mana, tidak jelas.

Busway banyak dikritik. Tapi kalau bisa mengangkut lebih dari 104 juta orang selama 2011, kira-kira ada manfaatnya apa tidak? Kita tidak bisa sampai ke sasaran ideal dalam waktu singkat.

Bukankah ada bantuan dari lembaga donor untuk pengembangan sistem transportasi?

Terus terang, kami juga mendapat bantuan dari Bank Dunia untuk mengembangkan bus rapid system di tahun 1987. Tapi, mereka tidak mau membiayai kereta. Macam-macam alasannya. Kalau saya bilang mau digunakan untuk kereta api, pasti mereka bilang tidak bisa. Jadi, kami ikut saja dulu.

Waktu saya mulai kerja di DKI pada 1972, saya saban hari jadi sasaran Bang Ali Sadikin. Ini gara-gara saban ketemu sama dia, saya ngomong terus soal kereta api. Berkali-kali saya kena asbaknya. Mejanya panjang, karena saya paling muda saya duduk paling ujung. Dia merokok. Biasanya saya suka nyeletuk tiap kali ada pembicaraan soal sistem transportasi Jakarta, “Pak, kereta api.” Kata Bang Ali, “Elu ngomong kereta api melulu.” Terus kena asbak deh, saya … hahaha. Mungkin gara-gara sering kena asbak Bang Ali, makanya saya sekarang jadi Gubernur… hahaha.

Tadi Anda bilang pola transportasi Jakarta sudah dirancang sejak lama?

Sejak saya mulai kerja di DKI, kami sudah mulai mengembangkan pola Jakarta Metropolitan Area Transportation. Itu sistemnya seperti lima jari tangan menunjuk ke bawah. Masing-masing jari itu jalur kereta api dan akan dikembangkan. Yang belum ada, diisi. Inilah yang direncanakan sebagai koridor penunjang pengembangan kota Jakarta. Kalau pola ini yang dikembangkan, tidak pusing kita sekarang. Sekarang ini jalan raya yang jadi tumpuan.

Pada Metropolitan Area Transportation, memang ada jalan rayanya juga. Tapi tumpuan utamanya adalah sumbu angkutan umum massal berbasis kereta itu tadi. Tahun 1972 gue sudah bikin kayak begini. Tapi ditolak sama pemerintah, karena tidak ada duitnya. Kalah sama jalan tol. Kalau sekarang mau dibuat mengikuti pola itu, Jakarta sudah terlanjur padat. Sekarang, membebaskan tanah susah, langsung pada cabut golok.

Saya mendorong habis-habisan supaya ada revitalisasi kereta api. Cuma, lagi-lagi kereta api itu tidak bisa berdiri sendiri. Ini harus terintegrasi dengan sistem angkutan umum lain dan tata ruang kota. Kementerian Perhubungan punya kewenangan di jalur perhubungan, saya punya kewenangan di Jakarta. Mustinya ini terintegrasi.

Revitalisasi KA seberapa mahal?

Mahal. Tapi dalam jangka panjang, itu yang paling menguntungkan. Bandingkan dengan jalan. Semuanya linier, amburadul. Memang, harus ada integrasi, harus kerjasama dengan PT Kereta Api. Kita harus sepakati stasiun mana yang mau kita kembangkan. Misalnya, Stasiun Manggarai. Bukan stasiunnya saja yang kita kembangkan, tapi juga tata ruang di sekitarnya.

Untuk mengatasi soal anggaran, kenapa tidak pakai sistem public-private partnership?

Begini, saya tidak katakan tidak mungkin. Tapi, yang leading harus government karena ini menyangkut kepentingan publik. Bikin tunnel itu tidak bisa menyuruh swasta. Mana ada swasta mau, karena terlalu mahal. Yang swasta bisa, kalau kita tenderkan misalnya rolling stock-nya, operation-nya. Tapi sunk cost harus ditanggung pemerintah. Ini yang kadang orang tidak mengerti. Mereka pikir bikin subway itu seperti martabak.

Bagaimana kemajuan proyek subway

Sudah berjalan sejak dua tahun lalu, sekarang dalam proses persiapan tender.

Kalau pembangunan flyover?

Logikanya sederhana, kalau macet, semua split--ke atas, ke bawah, supaya mengurangi tingkat kemacetan. Kalau macetnya dari ujung ke ujung, ya double deck. Apalagi kalau membebaskan tanah susah, tidak ada jalan lain. You wait for a while, lima tahun lagi jalan Jakarta bakal tiga tingkat. Kalau panjang umur, 10-20 tahun lagi bisa lima tingkat kayak di Tokyo.

Masalah kita itu kurang jalan atau terlalu banyak mobil?

Terlalu banyak mobil. Itu yang salah. Itu masalah utama kita. Kalau saya Presiden, sudah saya keluarin itu peraturan pembatasan kendaraan. 

Pakai sistem Electronic Road Pricing (ERP)?

Ya, ERP. Yang lain tidak bakal efektif. Ngapain bikin peraturan yang tidak efektif? Saya percaya 3 in 1 sudah tak efektif, tapi kalau belum ada gantinya, bagaimana? Kalau gantinya cuma baca Al-Fatihah saja kan nggak jalan. Semua kewenangan itu ada di Presiden.

Apa hambatan utama penerapan ERP?

Saya kurang tahu karena saya bukan Menteri Keuangan. Semua alasan sudah saya sampaikan ke Beliau. Tapi, kan keputusan untuk itu tak sederhana. Ada yang merasa dirugikan. Pada akhirnya, pertimbangan politis juga menentukan.

Termasuk menentukan suara Anda di pilkada nanti?

Kalau saya mah tidak jadi soal. Besok mau Pilkada juga, kalau saya bisa, saya teken peraturannya hari ini. Lagipula, belum tentu saya maju juga, kan? Apakah saya maju lagi? Kalau mau tanya itu jawabannya sederhana: saya masih jadi gubernur sampai Oktober 2012 ini. Jadi sekarang saya tidak mikirin apa-apa. Saya kerja saja jadi gubernur.

Menurut survey, kans Anda paling tinggi… 

Survei mah silakan saja.

Tapi Anda masih ingin maju?

Saya tidak pernah ingin, kok... 

Bagaimana jika Anda dicalonkan atau diminta untuk maju pilkada lagi? 

Sementara waktu saya kerja saja jadi gubernur. Yang kepingin kan masih banyak.

Soal mundurnya Prijanto sebagai wakil Anda, bagaimana sebenarnya?

Saya cuma bisa cerita apa yang saya tahu. Yang saya tahu, saya cuma bisa menyayangkan saja keputusan Beliau, karena amanahnya kan sampai bulan Oktober. Selebihnya, silakan tanyakan kepada Beliau.

Benar Prijanto kecewa karena beberapa hal yang telah dia setujui lalu Anda tolak? 

Lho, gubernurnye siape? Saya tidak ingin memberikan komentar soal itu. Hubungan saya dengan Beliau adalah hubungan profesional. Saya belajar dari Manchester United. Saat David Beckham mau kabur, apa MU saat itu bilang, "Jangan… jangan…!" Lalu, saat Ronaldo mau pergi, apa Alex Ferguson bilang,"Jangan… jangan…!?" Kan, tidak.

Soal penanggulangan banjir bagaimana?

Sebetulnya kita sudah punya master plan. Si Belanda itu bikin kota ini sudah berdasarkan pola pengendalian banjir seperti di kampungnya, dengan polder, saluran, kali, situ, pompa, pintu air. Master plan itu harus kita tindaklanjuti dengan action plan. Kalau ini tidak dilaksanakan, saya ragu kita akan berhasil mengendalikan banjir.

Jakarta aman dari banjir tidak tahun ini?

Tugas saya sebagai gubernur adalah membuat penanganan banjir berjalan semaksimal mungkin. Tapi airnya turun di mana, seberapa banyak, itu kan bukan urusan saya. Kita harus siap untuk yang terburuk. Kalau hujan deras di gunung dan lokal sama derasnya selama tiga hari tiga malam dan laut pasang, pasti terendam kita.

Kalau skenario itu terjadi pada saat yang bersamaan, penyelesaian jangka panjangnya adalah membangun bendungan raksasa. Kalau itu tidak terjadi pada saat yang bersamaan, masih bisa kita kontrol.

Sekarang kita sodet dengan Banjir Kanal Timur, seperti halnya dulu menyodet Ciliwung dengan Banjir Kanal Barat. Dengan Banjir Kanal Timur, air tidak mengalir lagi ke Cipinang, Rawamangun, dan Pulomas. Jadi, saluran di hilir cuma untuk menampung hujan lokal, tekanannya jadi berkurang. 

Ada lagi yang bisa kita optimalkan, tapi sampai sekarang saya kesal karena belum bisa kerja. Kali di Jakarta ini ada yang sampai 30 tahun tidak dikeruk-keruk, dari hulu ke hilir.

Apa kendalanya? 

Waktu saya terpilih jadi gubernur, saya tahu kondisi ini, lalu saya mau pinjam uang sama Ibu Sri Mulyani, Menkeu waktu itu. Tapi, Bu Ani bilang, "Pak Fauzi, kami tidak punya uang." Sebetulnya tidak banyak, Rp1,5 trilun. Saya bilang kali di Jakarta ini tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, jadi harus kita share. Kalau saya ngeruk, Pusat nggak ngeruk, tidak bisa.

Saya disarankan Bu Ani bicara ke Bank Dunia. Bank Dunia bilang, “Oke, kami confirm the money, tapi prosedur urusan Anda.” Ini yang belum beres sampai sekarang. Pemerintahan kita ini kan agak ruwet. Perlu ada peraturan pemerintah untuk ini. Prosesnya lama, hampir tiga tahun. 

Memangnya orang-orang yang pada kebanjiran mengerti? Kalau terjadi banjir, mereka pasti cuma bilang, “Gubernurnya goblok!” Apalagi nanti, misalnya, saya baru mulai bisa ngeruk kali waktu musim kering. Orang marahnya tiga kali, kan? Mereka pikir: kagak sehat, nih Gubernur. Ini memang berkah saya … hahaha.

Anda setuju Ibukota dipindahkan dari Jakarta?

Saya akan ikuti keputusan pemerintah pusat. Cuma, menurut saya, biar bagaimana juga Jakarta akan tetap jadi pusat kegiatan. Kalau ingin meringankan bebannya, dengan memindahkan salah satu fungsinya, yang paling realistis adalah memindahkan fungsi pemerintahannya. Jadi seperti Putra Jaya di Malaysia. Ibukota akan tetap di Jakarta.

Sekarang, kami coba mengembangkan Greater Metropolitan Area. Di situ saya harap fungsi itu lebih tersebar dan di-back up infrastruktur yang cukup. Saya melihat, ini mungkin alternatif yang realistis ketimbang memindahkan ibukota ke daerah lain. Terlalu mahal jika kita membangun Ibukota yang baru seperti Canberra atau Brasilia. (kd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya